Powered By Blogger
terima kasih sudah berkunjung di blog ini, salam kenal dari saya. anda termasuk orang yang gemar mencari, terlepas dari popularitas dan perkenalan...!

Minggu, 28 November 2010

Konsolidasi Nusantara Dalam Konteks Integrasi Kawasan: Konsensus Demokratik, Nasionalisme Ekonomi, Dan Persatuan Rakyat Part 3

Oleh; Ibe Wanuata


Indonesia: Negara Setengah Jadi

Sudah bukan rahasia, jika sebagian besar mekanisme politik dan logika sosial-ekonomi yang dijalankan di negara-negara pasca-kolonial, adalah gerak lanjut dari pola negara kolonial. Indonesia termasuk mempraktekkan ’cara kerja’ ini, meski tidak pernah secara resmi diakui oleh pemerintah. Tentu argumen ini akan berat diterima oleh mereka yang masih sangat konservatif melihat anatomi negara berjalan. Belum lagi jika bertemu dengan kaum ultra-nasionalis yang sering melihat negara bisa berjalan terpisah dengan konstelasi internasional.
Dalam kamus teoritik, perdebatan antara penganut teori dependensia dan otonomi relatif masih berlangsung. Penganut dependensia melihat dalam struktur kapitalisme global, negara-negara pasca-kolonial adalah sub-ordinasi langsung dari negara-negara adikuasa. Mereka sangat tergantung atas hutang luar negeri dan investasi asing langsung. Negara dalam relasinya dengan borjuasi lokal atau dinasti oligarkhis, lewat berbagai instrumen teknis mampu mengelola berbagai macam konflik kepentingan yang ada. Tetapi satu sisi, negara dengan segala perangkat mekanisnya adalah produk dari borjuasi imperialis di metropolis(Vedi R. Hadiz 1999).
Argumen dependensia disanggah oleh teori otonomi relatif negara yang mengakui adanya kompetisi antara kelompok-kelompok dominan dengan kepentingan supra-nasional, namun tak ada satupun mampu secara absolut mengendalikan negara. Dominasi satu kepentingan tidak akan bertahan lama, sehingga yang terjadi hanyalah suatu pembagian ruang kuasa politik-ekonomi secara berimbang.

Meskipun pada titik tertentu, dimana kelas-kelas berkuasa dalam negeri terlibat ’perang politik’, negara lalu memberi ruang besar bagi kuasa modal internasional. Terakhir, aliran produksionis memberi catatan kritis atas teori otonomi relatif. Meski memiliki ruang negosiatif, tetapi negara tidak bisa seenak hati melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan dasar dari borjuasi internasional dan negara-negara dominan dalam konteks sistem dunia.
Kita tentu tidak ingin secara terburu meski sama-sama negara dunia ketiga dan pasca kolonial, mempersamakan antara Indonesia dengan Bangladesh, Pakistan, Kenya, atau Tanzania. Agar tidak jatuh dalam konklusi sepihak dari asumsi teoritis yang menjadi panduan analisa disejumlah negara, maka kita perlu untuk melihat bagaimana proses negara ini berkembang sejak awal sebelum bentuk negara modern di didirikan. Sebab tentu saja seperti dinegeri lain, Indonesia memiliki sifat khas tersendiri dalam konteks dinamika internal sebagai bangsa dan reproduksi politik-ekonomi hasil dari kontradiksi atau konflik dengan mekanisme-mekanisme global yang berkuasa selama ratusan tahun.
Negara ini memiliki dua garis utama perkembangan sejarah masyarakat. Namun ketika negara modern terbentuk, keduanya lalu terintegrasi dan mengalami hubungan pasang-surut bahkan sekali waktu menjadi titik konflik yang menyita energi masyarakat. Pertama, komunitas, kelompok, suku bangsa yang sejak awal hanya mengenal tata sosial-ekonomi hingga terintegrasi menjadi Indonesia. Kedua, suku bangsa yang mengalami transformasi bentuk dari suku-suku konfederatif menjadi kerajaan dan kesultanan. Relatif masyarakatnya masih memiliki memori tentang kepemimpinan struktural, sehingga lebih mudah beradaptasi atas pola ketatanegaraan modern hari ini.
Tentu tidak cukup hanya dengan mengukur sepihak proses ini. Kita perlu melihat bagaimana postur negara kolonial yang dibangun dan dikelola oleh imperialis-kolonialis Eropa, khususnya oleh Belanda. Meski di Eropa spirit Revolusi Perancis mengakibatkan banyak gelombang penghancuran otoritas tunggal monarki absolut menjadi bentuk pemerintahan parlementer, namun saat negeri-negeri Eropa masuk ke Indonesia mekanisme kompromistis lebih banyak diterapkan. Kompetisi sesama negara eropa(Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol) mendorong sikap maksimum yang diharapkan dari raja-raja atau penguasa lokal, hanyalah loyalitas mereka terhadap monopoli dagang atas komoditas favorit pasar Eropa.
Tidak semua kerajaan/wilayah menjadi target. Setidaknya ada tiga pertimbangan yang digunakan: (1)Daerah kaya hasil-hasil bumi, (2)kerajaan dengan pelabuhan dan armada martim yang besar, dan (3)negeri-negeri resisten atas politik kolonial. Karena itu cukup banyak wilayah sosial yang tidak terjangkau dan berjalan sesuai mekanisme lokal semata. Belanda-Portugis lebih banyak memosisikan penguasa lokal sebagai bagian dari aliansi strategis saling menguntungkan. Bahkan membagi wilayah dan otoritas kekuasaan menjadi mungkin demi terjaganya otoritas kolonial secara nasional di Nusantara.
Sebagian besar perlawanan atas kolonial Belanda jika ditelisik lebih dalam sesungguhnya adalah konflik warisan/turunan dari perang kekuasaan ditingkat lokal yang berubah bentuk. Perlawanan dengan tingkat kesadaran nasional dan global jumlahnya sangat sedikit. Perang adalah pertemuan antara gerak ekspansif hasil kompetisi antar negeri Eropa bertemu dengan akumulasi konflik politik ditingkat raja-raja lokal dan penguasa kawasan. Koalisi terbatas hingga aliansi strategis dengan Belanda atau Inggris, menjadi pilihan logis demi memenangkan sebuah kekuasaan lokal/kawasan.
Setelah mengalami perang teritorial selama 200 tahun(1609-1809), Belanda relatif telah mengendalikan situasi nasional. Maka dimulailah satu konsolidasi ekonomi yang lebih sistematis. Dimasa H.W. Daendels(1808-1811), pendisiplinan atas hak-hak istimewa para penguasa lokal diterapkan dengan tegas. Prinsip-prinsip politik liberal juga diterapkan oleh Thomas Stamford Raffles(1811-1816). Kekuasaan raja/bupati feodal menjadi hambatan utama. Pada saat VOC bubar akibat biaya perang Jawa dan Korupsi ekstrim dijajaran elitnya, maka pilihan menerapkan proyek sistem tanam paksa(culturstelsei) diterapkan pada 1830-1870. Cara ini diharapkan cukup efektif.
Mengikuti perkembangan situasi Eropa, kemenangan partai liberal dan sosialis di Parlemen Belanda, dan kecenderungan Kapitalisme industrial yang meningkat, akhirnya kebijakan pintu terbuka atau politik swastanisasi dijalankan. Korporasi-korporasi swasta diberikan akses dan kemudahan dalam banyak hal. Birokrasi lokal yang bersandar pada sistem feodal dimutasi melalui proyek sekolah politik etis. Secara genealogis, keturunan bangsawan tetap prioritas utama, tapi disisi lain proses yang dibangun disesuaikan dengan logika kaum terdidik pesanan pasar dan korporasi global. Hukum agraria dibuat untuk menjamin kepemilikan tanah/lahan, Undang-Undang Kewarganegaraan dijalankan dengan ketat agar struktur sosial stabil, birokrasi modern dibentuk untuk membantu mempermudah pemerintahan kolonial dan korporasi asing. Bahkan, Javasche Bank didirikan untuk menyangga kebutuhan permodalan jika fluktuasi harga dipasar global mengancam.
Tahap tertinggi nusantara sebelum datangnya kolonial adalah model federasi atau konfederasi negara. Mereka membentuk sebuah aliansi strategis baik untuk kepentingan ekspansif pun sekadar sebagai cara bertahan(defensif) atas bahaya dari negeri lain. Kapitalisme yang dikembangkan diawal adalah kapitalisme kolonial(colonial capitalism) dan corak negara bukanlah kolonial penuh tapi lebih tepat disebut semi-kolonial. Karena itu menjadi logis, ketika praktek kolaborasi antara kaum kolonial dengan feodal tetap terpelihara. Belanda tidak sedang membangun sistem yang ”sangat persis” dengan realitas politik-ekonomi di Eropa. Kepentingan paling pokok mereka hanyalah bagaimana mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari kekayaan nusantara/Hindia Belanda.
Situasi ini terus berlangsung hingga ’anak-anak haram politik etis’ berhasil mengelola situasi penindasan dalam negeri dengan kecenderungan global yang makin terfragmentasi oleh arus perang rebutan wilayah antara blok-blok utama dunia. Memanfaatkan arus global yang telah menyiapkan landasan bagi lahirnya negara-negara baru di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, persiapan menuju Indonesia merdeka makin bulat. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah satu akumulasi dari seluruh aspek nasional dan global. Namun tidaklah benar jika beranggapan negara baru bernama Indonesia berdiri diatas fondasi spirit proklamasi. Sebab setelah itu, paket-paket perjanjian telah meng-aborsi hampir seluruh batas-batas kedaulatan politik-ekonomi-wilayah Indonesia.
Jebakan yang tertuang dalam perjanjian Giyanti dan Bungaya, terulang lagi dalam klausul Linggarjati, Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar(KMB). Sebagian dari konflik-konflik yang mendera indonesia periode 1950-1960 antara jakarta dengan daerah, adalah buah dari patahnya kesepahaman atas arah negara baru. Kita tidak bisa hanya mereduksi apa yang dilakukan oleh PRRI, DI-TII, dan Permesta, semata pemberontakan bersifat separatis dan provokasi dari kekuatan global. Bukankah politik reorganisasi-rasionalisasi(RERA) angkatan darat yang telah membuat perang horisontal antara TNI dan laskar rakyat adalah proposal politik militer dari negara-negara adikuasa?. Negara kita adalah negara yang disandera sejak awal dan hidup dalam jebakan mekanisme pasca-kolonial blok-blok utama dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar