Powered By Blogger
terima kasih sudah berkunjung di blog ini, salam kenal dari saya. anda termasuk orang yang gemar mencari, terlepas dari popularitas dan perkenalan...!

Minggu, 28 November 2010

Konsolidasi Nusantara Dalam Konteks Integrasi Kawasan: Konsensus Demokratik, Nasionalisme Ekonomi, Dan Persatuan Rakyat Part 3

Oleh; Ibe Wanuata


Indonesia: Negara Setengah Jadi

Sudah bukan rahasia, jika sebagian besar mekanisme politik dan logika sosial-ekonomi yang dijalankan di negara-negara pasca-kolonial, adalah gerak lanjut dari pola negara kolonial. Indonesia termasuk mempraktekkan ’cara kerja’ ini, meski tidak pernah secara resmi diakui oleh pemerintah. Tentu argumen ini akan berat diterima oleh mereka yang masih sangat konservatif melihat anatomi negara berjalan. Belum lagi jika bertemu dengan kaum ultra-nasionalis yang sering melihat negara bisa berjalan terpisah dengan konstelasi internasional.
Dalam kamus teoritik, perdebatan antara penganut teori dependensia dan otonomi relatif masih berlangsung. Penganut dependensia melihat dalam struktur kapitalisme global, negara-negara pasca-kolonial adalah sub-ordinasi langsung dari negara-negara adikuasa. Mereka sangat tergantung atas hutang luar negeri dan investasi asing langsung. Negara dalam relasinya dengan borjuasi lokal atau dinasti oligarkhis, lewat berbagai instrumen teknis mampu mengelola berbagai macam konflik kepentingan yang ada. Tetapi satu sisi, negara dengan segala perangkat mekanisnya adalah produk dari borjuasi imperialis di metropolis(Vedi R. Hadiz 1999).
Argumen dependensia disanggah oleh teori otonomi relatif negara yang mengakui adanya kompetisi antara kelompok-kelompok dominan dengan kepentingan supra-nasional, namun tak ada satupun mampu secara absolut mengendalikan negara. Dominasi satu kepentingan tidak akan bertahan lama, sehingga yang terjadi hanyalah suatu pembagian ruang kuasa politik-ekonomi secara berimbang.

Meskipun pada titik tertentu, dimana kelas-kelas berkuasa dalam negeri terlibat ’perang politik’, negara lalu memberi ruang besar bagi kuasa modal internasional. Terakhir, aliran produksionis memberi catatan kritis atas teori otonomi relatif. Meski memiliki ruang negosiatif, tetapi negara tidak bisa seenak hati melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan dasar dari borjuasi internasional dan negara-negara dominan dalam konteks sistem dunia.
Kita tentu tidak ingin secara terburu meski sama-sama negara dunia ketiga dan pasca kolonial, mempersamakan antara Indonesia dengan Bangladesh, Pakistan, Kenya, atau Tanzania. Agar tidak jatuh dalam konklusi sepihak dari asumsi teoritis yang menjadi panduan analisa disejumlah negara, maka kita perlu untuk melihat bagaimana proses negara ini berkembang sejak awal sebelum bentuk negara modern di didirikan. Sebab tentu saja seperti dinegeri lain, Indonesia memiliki sifat khas tersendiri dalam konteks dinamika internal sebagai bangsa dan reproduksi politik-ekonomi hasil dari kontradiksi atau konflik dengan mekanisme-mekanisme global yang berkuasa selama ratusan tahun.
Negara ini memiliki dua garis utama perkembangan sejarah masyarakat. Namun ketika negara modern terbentuk, keduanya lalu terintegrasi dan mengalami hubungan pasang-surut bahkan sekali waktu menjadi titik konflik yang menyita energi masyarakat. Pertama, komunitas, kelompok, suku bangsa yang sejak awal hanya mengenal tata sosial-ekonomi hingga terintegrasi menjadi Indonesia. Kedua, suku bangsa yang mengalami transformasi bentuk dari suku-suku konfederatif menjadi kerajaan dan kesultanan. Relatif masyarakatnya masih memiliki memori tentang kepemimpinan struktural, sehingga lebih mudah beradaptasi atas pola ketatanegaraan modern hari ini.
Tentu tidak cukup hanya dengan mengukur sepihak proses ini. Kita perlu melihat bagaimana postur negara kolonial yang dibangun dan dikelola oleh imperialis-kolonialis Eropa, khususnya oleh Belanda. Meski di Eropa spirit Revolusi Perancis mengakibatkan banyak gelombang penghancuran otoritas tunggal monarki absolut menjadi bentuk pemerintahan parlementer, namun saat negeri-negeri Eropa masuk ke Indonesia mekanisme kompromistis lebih banyak diterapkan. Kompetisi sesama negara eropa(Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol) mendorong sikap maksimum yang diharapkan dari raja-raja atau penguasa lokal, hanyalah loyalitas mereka terhadap monopoli dagang atas komoditas favorit pasar Eropa.
Tidak semua kerajaan/wilayah menjadi target. Setidaknya ada tiga pertimbangan yang digunakan: (1)Daerah kaya hasil-hasil bumi, (2)kerajaan dengan pelabuhan dan armada martim yang besar, dan (3)negeri-negeri resisten atas politik kolonial. Karena itu cukup banyak wilayah sosial yang tidak terjangkau dan berjalan sesuai mekanisme lokal semata. Belanda-Portugis lebih banyak memosisikan penguasa lokal sebagai bagian dari aliansi strategis saling menguntungkan. Bahkan membagi wilayah dan otoritas kekuasaan menjadi mungkin demi terjaganya otoritas kolonial secara nasional di Nusantara.
Sebagian besar perlawanan atas kolonial Belanda jika ditelisik lebih dalam sesungguhnya adalah konflik warisan/turunan dari perang kekuasaan ditingkat lokal yang berubah bentuk. Perlawanan dengan tingkat kesadaran nasional dan global jumlahnya sangat sedikit. Perang adalah pertemuan antara gerak ekspansif hasil kompetisi antar negeri Eropa bertemu dengan akumulasi konflik politik ditingkat raja-raja lokal dan penguasa kawasan. Koalisi terbatas hingga aliansi strategis dengan Belanda atau Inggris, menjadi pilihan logis demi memenangkan sebuah kekuasaan lokal/kawasan.
Setelah mengalami perang teritorial selama 200 tahun(1609-1809), Belanda relatif telah mengendalikan situasi nasional. Maka dimulailah satu konsolidasi ekonomi yang lebih sistematis. Dimasa H.W. Daendels(1808-1811), pendisiplinan atas hak-hak istimewa para penguasa lokal diterapkan dengan tegas. Prinsip-prinsip politik liberal juga diterapkan oleh Thomas Stamford Raffles(1811-1816). Kekuasaan raja/bupati feodal menjadi hambatan utama. Pada saat VOC bubar akibat biaya perang Jawa dan Korupsi ekstrim dijajaran elitnya, maka pilihan menerapkan proyek sistem tanam paksa(culturstelsei) diterapkan pada 1830-1870. Cara ini diharapkan cukup efektif.
Mengikuti perkembangan situasi Eropa, kemenangan partai liberal dan sosialis di Parlemen Belanda, dan kecenderungan Kapitalisme industrial yang meningkat, akhirnya kebijakan pintu terbuka atau politik swastanisasi dijalankan. Korporasi-korporasi swasta diberikan akses dan kemudahan dalam banyak hal. Birokrasi lokal yang bersandar pada sistem feodal dimutasi melalui proyek sekolah politik etis. Secara genealogis, keturunan bangsawan tetap prioritas utama, tapi disisi lain proses yang dibangun disesuaikan dengan logika kaum terdidik pesanan pasar dan korporasi global. Hukum agraria dibuat untuk menjamin kepemilikan tanah/lahan, Undang-Undang Kewarganegaraan dijalankan dengan ketat agar struktur sosial stabil, birokrasi modern dibentuk untuk membantu mempermudah pemerintahan kolonial dan korporasi asing. Bahkan, Javasche Bank didirikan untuk menyangga kebutuhan permodalan jika fluktuasi harga dipasar global mengancam.
Tahap tertinggi nusantara sebelum datangnya kolonial adalah model federasi atau konfederasi negara. Mereka membentuk sebuah aliansi strategis baik untuk kepentingan ekspansif pun sekadar sebagai cara bertahan(defensif) atas bahaya dari negeri lain. Kapitalisme yang dikembangkan diawal adalah kapitalisme kolonial(colonial capitalism) dan corak negara bukanlah kolonial penuh tapi lebih tepat disebut semi-kolonial. Karena itu menjadi logis, ketika praktek kolaborasi antara kaum kolonial dengan feodal tetap terpelihara. Belanda tidak sedang membangun sistem yang ”sangat persis” dengan realitas politik-ekonomi di Eropa. Kepentingan paling pokok mereka hanyalah bagaimana mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari kekayaan nusantara/Hindia Belanda.
Situasi ini terus berlangsung hingga ’anak-anak haram politik etis’ berhasil mengelola situasi penindasan dalam negeri dengan kecenderungan global yang makin terfragmentasi oleh arus perang rebutan wilayah antara blok-blok utama dunia. Memanfaatkan arus global yang telah menyiapkan landasan bagi lahirnya negara-negara baru di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, persiapan menuju Indonesia merdeka makin bulat. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah satu akumulasi dari seluruh aspek nasional dan global. Namun tidaklah benar jika beranggapan negara baru bernama Indonesia berdiri diatas fondasi spirit proklamasi. Sebab setelah itu, paket-paket perjanjian telah meng-aborsi hampir seluruh batas-batas kedaulatan politik-ekonomi-wilayah Indonesia.
Jebakan yang tertuang dalam perjanjian Giyanti dan Bungaya, terulang lagi dalam klausul Linggarjati, Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar(KMB). Sebagian dari konflik-konflik yang mendera indonesia periode 1950-1960 antara jakarta dengan daerah, adalah buah dari patahnya kesepahaman atas arah negara baru. Kita tidak bisa hanya mereduksi apa yang dilakukan oleh PRRI, DI-TII, dan Permesta, semata pemberontakan bersifat separatis dan provokasi dari kekuatan global. Bukankah politik reorganisasi-rasionalisasi(RERA) angkatan darat yang telah membuat perang horisontal antara TNI dan laskar rakyat adalah proposal politik militer dari negara-negara adikuasa?. Negara kita adalah negara yang disandera sejak awal dan hidup dalam jebakan mekanisme pasca-kolonial blok-blok utama dunia.

[+/-] Selengkapnya...

BHP = PRIVATISASI, (Instrument globalisasi)

“SEBUAH KETAKUTAN YANG BERALASAN”


Oleh: buminaraka*
Sitou Timou Tumou Tou (Sam Ratulangie)
Tabea……!
Mungkin agak aneh melihat kekhawatiran dari gejolak protes yang begitu massif dari teman-teman mahasiswa di nusantara menanggapi kebijakan (ke-tidakbijak-an) legislatif yang ‘berhasil’ menetapkan UU BHP (badan Hukum Pendidikan). yang lebih aneh lagi, sikap protes tersebut menjadi lelucon bagi kita (mahasiswa unima). penulis beranggapan mungkin dikarenakan ‘kita’ belum begitu akrab dengan ‘teman’ baru kita yang bernama BHP (tak kenal maka tak sayang). Nah sebelum BHP memperkenalkan diri, penulis tanpa permisi coba untuk memperkenalkan BHP sejauh yang bisa untuk diperkenalkan, nantinya biar kita sama-sama menilai apakah ‘dia’ (BHP. red) baik untuk disayangi atau tidak. tulisan ini menjadi begitu ringan dan sederhana agar tidak ada kepanikan dari ketakutan akan BHP.
Ketakutan akan ter-BHP-nya perguruan tinggi perlu dilandasi dengan pemahaan yang kompleks. Sekarang, ketakutan dengan BHP akan beralasan bukan sebagai ketakutan melainkan bencana. Ingat..!! Pemberlakuan BHP tidak hanya berkutat diwilayah perguruan tinggi saja melainkan itu berimplikasi di semua sektor pendidikan sampai di tingkatan Sekolah dasar (SD). Rencana pemerintah mem-BHP-kan seluruh sistem pendidikan nasional telah menjadi agenda sejak jauh hari, pada masa Habibie dirumuskan regulasi yang mungkin kita tidak kenal bernama PP 61/1999 yang mencoba mengatur status perguruan tinggi menjadi badan hukum. setelah ditetapkan pada tanggal 24 juni 1999 menjadi populer dengan sebutan BHMN (BADAN HUKUM MILIK NEGARA) regulasi ini berisi semua mekanisme operasional dari badan hukum BHMN juga berkaitan erat dengan program pencabutan subsidi pemerintah di sektor pendidikan. untuk pengalokasian 20% dari APBN bagi pendidikan hanyalah pasal kosong tanpa kekuatan hukum. Amanat dalam BMHN tersebut menjadi warisan buat presiden berikut. Megawati kemudian beraksi dengan produk hukum dengan nama UU No 20 Tahun 2003 atau SISDIKNAS (sistem pendidikan nasional). Konsekuensi prsedural dari regulasi sebelumnyalah yang menjadi cikal bakal perumusan BHP. Semua tahu kalau pemerintahan kita adalah pemerintah yang menghabiskan energinya di tataran pembahasan doang. Pemerintah sendiri diamanatkan untuk mengalokasikan 20% dari APBN untuk biaya pendidikan ini perlu di ingat.
Berikut implikasi dari BHP
Politisasi anggaran pendidikan
Dalam pasal 22, ayat 2 berbunyi : aset BHP dapat berasal dari modal penyelenggara, utang pada pihak lain, sumbangan atau bantuan dari pihak lain, dan hasil usaha BHP, yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. rumusan ini berarti penegasan atas otonomisasi anggaran pendidikan yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan yang bersatus BHP. Implikasinya mendorong lembaga pendidikan formal (bukan hanya Perguruan Tinggi) menggali sumber pendanaannya secara maksimal sekalipun itu dengan mekanisme ber-utang. Sejauh ini transparansi.

anggaran atau publikasi yang masih menggunakan asas subsidi dari pemerintah bahkan tidak dimengerti mahasiswa mengenai penggunaan anggaran. Tidak hanya sekedar mengenyam pendidikan akan tetapi perlu juga pemahaman atas lingkungan pendidikan tempatnya, atau mungkin ini terlalu berlebihan jika berhak untuk tahu akan hal tersebut ….???? Terlebih dengan anggaran yang lebih massif lagi jikalau pemberlakuan BHP untuk universitas tersebut. Tidak ada lembaga/ institusi yang bersih dari pengelapan anggaran bahkan KPK sekalipun.
Kalau lembaga pendidikan bisa berlaku demikian penulis berpikir dengan apa harus membayar utang tersebut? Pendidikan tinggi saat ini memiliki sumber pendanaan riil dari biaya yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa (SPP Dll.) selain subsidi hal ini juga memungkinkan mahasiswa menjadi “komoditi”. Ini membuktikan ketakutan kita akan meningkatnya biaya studi menjadi lebih beralasan. mungkin ketakutan ini bisa terbantahkan apabila taraf perekonomian masyarakat bawah ‘bisa’ ditingkatkan, meybe….! Mengenyam pendidikan tinggi sama susahnya ingin menjadi Presiden.
high level conspirasi
Pertanyaan yang timbul dari ditelurkannya BHP ini yaitu ada apa dibalik semua ini? Seperti pada ulasan sebelumnya, pemerintah sudah menggodok embrio BHP sejak jauh hari dikarenakan desakan (pressure) dari the unholy trinity (IMF, Bank Dunia, WTO) tahun 1995 mengenai penerapan program penyesuaian struktural (structural Adjusment Program/SAP) dengan point pemangkasan semua bentuk subsidi sektor publik termasuk pendidikan. Kemudian berlanjut pada perumusan 12 sektor jasa yang masuk dalam program liberalisasi yang dirumuskan dalam agenda rapat WTO Mei 2005. Dalam rumusan 12 sektor jasa tersebut, pendidikan menjadi dominan untuk di-liberalisasi-kan dengan anggapan di negara-negara maju (amerika, uni eropa, australia) pendidikan mampu menghasilkan devisa berlipat-ganda dibandingkan dengan sektor jasa yang lain bahkan sektor industri sekalipun. Keberhasilan tersebut dipicu dari program intervensi negara maju pada sektor pendidikan negara-negara berkembang lewat penerapan empat mode penyediaan jasa berbasis e-learning atau relationship pada perguruan tinggi atau lembaga pendidikan negara berkembang. Di indonesia sendiri mode tersebut di tindaklanjuti dengan regulasi BHP. Regulasi ini niat dasarnya agar lebih memudahkan proses intervesi tersebut. Dengan alih-alih meningkatkan kemampuan serta mutu pendidikan nasional dengan perangkat BHP justru berbanding terbalik, alasannya standarisasi-akreditasi mutu pendidikan nasional agar setara dengan negara maju. Pembuktian dari pola-pola tersebut dapat dilihat dari program-program kuliah jarak jauh yang diselenggarakan antara institusi pendidikan luar negeri dan dalam negeri, penggunaan staf pengajar luar negeri, pembukaan kelas-kelas reguler berbasis sistem pendidikan internasional dll. Justru menuntut pembiayaan mahal. Lantas, siapa yang mengenyam program-program pendidikan tersebut? Kesemua program pendidikan tersebut diistimewakan bagi mahasiswa atau siswa dengan kapasitas ekonomi lebih bukan kapasitas pengetahuan lebih…!!! Itu mungkin anda..
Hal ini masih berlanjut, tuntutan negara maju (Amerika, uni eropa dll) agar indonesia memajukan pendidikan sektor pendidikan atau memajukan standarisasi-akreditasi mutu pendidikan yang skalanya masih berkutat di level regional (asia tenggara) untuk lebih maju ke skala internasional. Jikalau hal ini dipaksakan via BHP dikhawatirkan elemen yang menjadi imbas adalah tenaga pengajar/guru lokal. Program sertifikasi tenaga pengajar yang digunakan untuk meng-upgrade kamampuan tenaga pendidik/guru justru menjadi momok menakutkan. Bagaimana tidak, sistem pengajaran yang dianut tenaga pendidik/guru lokal coba di revisi atau di evalusi dengan instrumen pengajaran baru yang lebih modern lewat pelaporan atau perumusan sistematika pembelajaran yang tidak dipahami sebelumnya. Pemberlakuan BHP pada semua sektor pendidikan justru membuka kesenjangan atau peluang masyarakat untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan lebih layak. Bukan hanya sekedar mahasiswa, siswa atau guru yang menjadi imbas dari pemberlakuan BHP masyarakat pun demikian. Pembiayaan biaya pendidikan yang mahal tidak memungkinkan untuk menggapai hal tersebut. Sebagai contoh, UI (universitas Indonesia) tidak mengoleksi mahasiswa yang taraf penghasilan ekonomi orang tuanya di bawah 1 juta/bulan, terkecuali Beasiswa. kelas-kelas internasional yang dibuka sekolah negeri hanya diisi oleh siswa yang mampu membayar SPP di atas Rp 500.000/semester bukan siswa yang mendapat peringkat 1-5 dalam kelas-kelas konvensional. Dapat disimpulkan motif dominan dari pemberlakuan regulasi BHP murni menyangkut Profit (laba) dengan produk jualannya adalah institusi pendidikan plus peserta didiknya. Lembaga pendidikan ditutut meningkatkan mutu pendididkan yang ditempuh dengan pembiayaan yang mahal, penyelenggaraan pendidikan yang sederhana ini saja mampu atau tidak mampu sudah cukup memberatkan apalagi di limpahkan kepada institusi luar negeri atau sumber pendanaan lain lewat mekainisme berutang, jadi bingung harus bayar pakai apalagi…?? Penerapan intitusi pendidikan menjadi badah hukum agar pemerintah dapat bermitra dengan institusi luar negeri dalam pembiayaan yang mencapai 20% dari pos APBN, saat ini pemerintah cukup mampu mengalokasikan kurang lebih 8-9 % biaya pendidikan, sisanya dialihkan. Pemerintah memposisikan diri sebagia pemilik dari badan hukum tersebut sedangkan pengoperasian institusi pendidikan dalam hal pembiayaan menjadi tanggung jawab institusi yang sudah ter-BHP.
Jadi yang perlu di simpan dalam memori ingatan pembaca adalah pemberlakuan BHP tidak hanya untuk universitas akan tetapi menggurita sampai pada level pendidikan paling bawah sekalipun (SD). Institusi pendidikan yang ter-BHP menuntu biaya lebih (high cost) dalam prosesnya yang memingkinkan meningkatnya beban studi dan semua implikasi yang ada di benak pembaca itu mungkin terjadi. Lantas untuk siapa pendidikan itu..???. kesemua ini bukanlah sebuah kepanikan. Bagi penulis tidak ada alasan untuk tidak takut..!!
Menunggu adalah dosa besar dalam perubahan (Resorgimento)

Pengumuman:
TIDAK ADA SEKOLAH MURAH

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 26 November 2010

Konsolidasi Nusantara Dalam Konteks Integrasi Kawasan: Konsensus Demokratik, Nasionalisme Ekonomi, Dan Persatuan Rakyat. part 2

Oleh: Ibe Wanuata

Mundur Satu Langkah: Akhir Dari Pax Americana?


Sejak lama mimpi membangun satu bentuk one world government menjadi cita-cita sejumlah negara dan korporasi swasta raksasa. Mereka meng-idam-kan satu situasi dimana seluruh kontrol kehidupan dunia berawal dan berakhir dari tangan mereka. Dulu kita kenal, PAX Romana, Pax Nederlandica, Pax Brittanica, yang secara sederhana berarti, niat membangun Inggris Raya atau Belanda Raya diseluruh dunia.
Keinginan seperti ini tidak pernah mati, dan selalu menjadi obsesi dari para pemimpin negara-negara industri. Namun setidaknya, defenisi operasional yang dijalankan telah bergeser. Indikator geo-ekonomi mulai diminati. Malah ditingkat berikutnya, seluruh lini/sektor(film, kebudayaan, teknologi, pendidikan) ditempatkan sebagai sesuatu bersifat strategis.
Presiden Barrack Obama yang baru saja dilantik, adalah simbol harapan tertinggi Amerika Serikat. Demam Obamania ditularkan keberbagai dunia, seolah harapan AS adalah harapan masyarakat seluruh dunia. Cara ini cukup ampuh merebut perhatian dan melupakan sejenak keprihatinan rakyat ditiap negara. Inilah bukti pencapaian tertinggi dari mesin-mesin citra dan jaringan virtual-hegemonik yang dikembangkan oleh Amerika Serikat selama 10 tahun terakhir. Obama seolah menjadi ”presiden seluruh dunia.” Tak mau ketinggalan Indonesia pun ’mengaitkan diri’ dengan Obama. Pernah tinggal dan sekolah di Jakarta jadi modal untuk membuka ruang negosiasi dalam banyak kepentingan.

Sebuah kekeliruan tafsir telah mendera banyak analis politik global. Mereka dengan bangga menunjukkan sisi kepedulian AS yang meningkat atas situasi dunia saat Barrack Obama terpilih. Ini bisa mereduksi seolah gerak determinan masih mengalir satu arah: Dari AS keseluruh dunia. Berubahnya peta politik luar negeri yang dijalankan oleh kabinet Obama, tentu saja buah dari resistensi berbagai negara dan makin kompleksnya realitas politik global. Dan sekali lagi, bukanlah bersandar pada ”kebaikan hati” seorang Obama semata, atau departemen luar negeri, apalagi Pentagon.
Sejak Komodor Perry melanggar doktrin Monroe dengan memaksa Jepang membuka isolasi, AS terus menerus terlibat dalam urusan dalam negeri bangsa-bangsa sedunia. Berperang dengan Spanyol memperebutkan Filiphina tahun 1898 hingga invasi ke Afghanistan dan Irak 2002-2003, telah menyematkan ”label abadi” bahwa pemerintah AS mengidap penyakit haus perang. Entah karena motif berebut pengaruh dan ruang geografis strategis secara militer, perang menimbun Migas melawan China-Rusia, atau sekadar untuk menggerakkan pertumbuhan industri nasional menjangkau pasar baru.
Penentangan keras Hugo chavez di Amerika Latin, Ahmadinejad di Timur Tengah, Moammar Khadafi di Afrika, China-Korea Utara-Vietnam di Asia Timur-Tenggara, dan tentu saja Vladimir Putin di Eropa Timur-Asia Tengah, adalah perlambang ’real-politics’ tentang peta geopolitik dunia yang telah berubah. Amerika Serikat mulai menyadari, betapa tidak mungkin lagi menganggap diri sebagai satu-satunya ”polisi dunia” dan memaksakan kehendak sesuka hati. Isu perang melawan terorisme tidak akan bertahan lama meski terus direproduksi. Meski selintas aktifitas di Irak dan Afghanistan meningkat, namun sejatinya AS saat ini sedang mengalami pukulan balik yang membuat mereka terkonsentrasi ke berbai persoalan pelik dalam negeri.
Jika saat Pemilu lalu yang terpilih sebagai presiden AS adalah Jhon Mc Cain, maka ancaman disintegrasi nasional akan benar-benar nyata. Pemilu berlangsung tepat saat AS mengalami krisis finansial serius. Semua orang mengingat peristiwa malaise tahun 1925-1935 yang berhasil membuat depresi ekonomi ekstrim di AS. Obama berhasil hadir sekadar untuk ’me-mutasi’ fokus warga negara dari krisis materil atas fundamental ekonomi, menjadi sebuah kebanggaan atas menangnya harapan mayoritas rakyat AS dalam Pemilu. Tentu saja situasi ini tidak akan bertahan lama. Fluktuasi ekonomi dan trans-lokasi deposit perbankan besar-besaran ke Eropa yang memicu aksi pindah nilai tukar dari Dollar ke EURO, agaknya mulai sukar untuk dicegah.
Saat krisis dan depresi ekonomi melanda, AS selalu mengalami gejolak sosial yang serius. AS adalah negara dengan tumpuan utama pada dua hal: stabilitas politik luar negeri dan survivalitas ekonomi nasional. Di level struktur sosial, mereka sangat rapuh bahkan sudah sampai pada titik defisit. Jika ditelisik, modal sosial AS tidak lagi memiliki konfigurasi dan model relasi bersifat kohesif. Setiap supra-struktur politik dan ekonomi nasional mengalami goncangan, ledakan massa dalam bentuk konflik klasik akan muncul. Isu Rasisme dan kebencian bermotif agama, tidak pernah mati. Jumlah sekte dan aliran keagamaan yang telah mencapai ratusan, bergerak makin menjauhi spirit kolektivisme sebagai satu bangsa.
Situasi ini mudah ditebak. Hasrat ofensif dalam politik luar negeri perlu dikelola lebih moderat, dan mengurangi intensitas konflik yang bisa berujung pada perang. Tidak heran setelah dilantik, Hillary Clinton, menteri luar negeri AS yang baru, menegaskan perubahan orientasi kearah hubungan dialogis. Sejumlah utusan khusus dikirim ke negara-negara yang bersitegang selama ini dengan AS(Iran, Korea Utara, China, Rusia). Mereka membatasi diri fokus pada penyelesaian proyek perang di Afghanistan dan Irak. Aliansi permanen dengan Uni Eropa coba dikuatkan. Negara-negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Australia, Indonesia, Thailand, Meksiko, Georgia, Afrika Selatan, dirangkul untuk menjaga eksistensi agenda strategis dikawasan mereka.
Mimpi untuk membangun Pax Americana(Amerika Raya) entah secara fisik atau dengan pola hegemonik, sudah permanen. Tapi agaknya, keinginan itu harus disimpan dulu. AS sedang menghitung, melepas sebagian superioritasnya tapi tetap mempertahankan otoritas utama dalam beberapa hal. Isu-isu komunalisme seperti fundamentalisme dan rasisme bagian dari proyek pengelolaan loyalitas warga bangsa Amerika Serikat. Jika siklus kapitalisme-neoliberal mengalami krisis, maka tema-tema komunalisme adalah senjata bertahan yang tepat. Cita-cita Amerika Raya tidak pernah mati. AS faham dunia sedang tidak berkehendak pada mereka. Lalu bagaimana dengan Indonesia?


to be continued..... (Indonesia: Negara Setengah Jadi)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 25 November 2010

Konsolidasi Nusantara Dalam Konteks Integrasi Kawasan: Konsensus Demokratik, Nasionalisme Ekonomi, Dan Persatuan Rakyat. part 1

Oleh: Ibe Wanuata


Anggitan Pemikiran
Jelang 10 Tahun Reformasi, Indonesia melakoni cukup banyak ritus politik, ekonomi, sosial. Meski agenda yang dijalankan terlihat beragam, namun semua hanyalah “tabir asap” dari realitas sebaliknya. Terlalu banyak angka-angka manipulatif, dan tebaran jala citra ’over-estimasi’ atas pertumbuhan ekonomi tiap tahun. Hal paling menggelikan adalah kesan pemerintah memaksakan kesimpulan jika angka kemiskinan secara nasional menurun. Cara ini berlebihan, sebab apapun argumentasi yang diajukan, dimana-mana kita menyaksikan ribuan buruh di PHK, ribuan PKL dikota-kota utama Indonesia digusur, dan aksi jual murah hasil pertanian oleh kaum tani terus berlangsung tanpa perlindungan dari negara.
Meski diakhir tahun kemarin, pemerintahan SBY-JK membuat aksi turunkan harga BBM, tidak berpengaruh sedikitpun. Sebab angka kemiskinan justru meningkat makin ekstrim. Sejak kenaikan harga BBM pada 24 Mei 2008, penduduk miskin terus bertambah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) menyatakan kenaikan harga BBM 30 persen menaikkan jumlah rakyat miskin sebanyak 4,5 juta dari 37,2 pada maret 2007 menjadi 41,7 juta jiwa pada 2008. Situasi ini tentu makin pelik, karena paceklik terjadi disejumlah tempat. Banyak lahan pertanian(khususnya sawah padi), terendam banjir dan membuat ribuan petani merugi.

ini hanyalah satu dari sekian kenyataan sosial-ekonomi rakyat Indonesia, yang 2 bulan lagi akan ikut dalam PEMILU nasional yang ketiga sejak Reformasi bergulir(1999-2004-2009). Kita butuh untuk melakukan satu refleksi utuh sebagai bentuk ”tuma’ninah” atas gerak kontinuum bangsa dalam pusaran Dunia dan gerak internal Indonesia. Tanpa evaluasi menyeluruh, maka sikap terburu dan salah langkah akan memangsa balik Indonesia. Sungguh malang, tinggal di negeri yang penuh dengan kekayaan alam-melimpah, tapi mayoritas rakyat tidak pernah tidur tenang tiap malam. Pikiran mereka terus menerus dihantui oleh ancaman kesulitan ekonomi kronis.
Gerak lumpuh, tidak bisa dipisahkan dari corak pengetahuan apa yang dipakai untuk menafsir dan menghadapi keadaan. Cara baca kita menelisik seluruh bangun peristiwa sosial, ekonomi, politik di Indonesia sering terjebak oleh tafsir-tafsir ahistoris dan optik parsial yang menempatkan setiap kenyataan terpisah, tak terhubung. Sebuah kerja besar mengolah ragam cara pandang sudah harus dilakukan, untuk membantu menjelaskan dengan terang, gerak mundur dan stagnasi sejarah kebangsaan Indonesia dalam perputaran siklus sistem dunia paruh pertama abad 21 ini. Mari kita simak satu persatu.

Dunia Multipolar: Kebangkitan Regionalisme?
Pasca runtuhnya Uni Soviet dan Tembok Berlin, dunia tidak lagi dalam pusaran Bipolar. Amerika Serikat mengklaim telah memenangkan perang dingin(cold war), dan layak membuat dikte terhadap seluruh kenyataan negara-negara seantero dunia. Pagelaran kapal induk dan kecanggihan teknologi tempur di seluruh samudera/lautan utama tetap dilakukan. Niat untuk jadi satu-satunya negara super-power dalam corak unipolaritas sudah didepan mata. Asumsi ini ternyata keliru, keruntuhan Uni Soviet justru memicu gelombang regionalisme baru dimana-mana. Dari Amerika Latin, Asia Timur, Eropa, hingga Benua Afrika.
Meski sering dianggap setali tiga uang, tapi Uni Eropa(UE) menegaskan diri sebagai satu blok kawasan yang memiliki logika gerak terpisah dari Amerika Serikat. Hutang budi atas pembangunan infrastruktur yang didanai oleh Marshall Plan, untuk mengembalikan wajah kota-kota utama Eropa pasca perang dunia II, tidak jadi penghalang untuk mengembangkan kepentingan UE bersinggungan dengan AS. Tentu saja dalam sejumlah isu strategis, AS dan UE susah untuk dipisahkan. Aliansi militer mereka dalam NATO tetap menjadi operasi gabungan yang solid diberbagai negara. Karena itu dibutuhkan kecerdasan mengelola hubungan dengan Uni Eropa.
Di Asia, China terus digaungkan sebagai poros dunia baru dan penentang utama politik internasional full spectrum dominance yang dimainkan AS. Bersama Rusia dan tiga negara Asia Tengah(Kyrgiztan, Tajikistan, dan Kazakhstan) mereka membuat blok tandingan: Shanghai Cooperation Organization(SCO). Meski neraca perdagangannya selalu unggul atas AS, tapi efek krisis finansial terakhir ikut melumpuhkan sebagian gerak ekonomi nasional China. Pengangguran dan krisis pangan terus membayangi. Sebagian ekonom melihat ini karena menurunnya kemampuan china mesinergikan pola ekonomi pasar dan ekonomi protektif didalam negeri.
Rusia lain lagi. Tindakan Rusia yang menempatkan Kapal Induk mereka diperairan Kuba-Venezuela, penolakan atas sarana Rudal anti-balistik AS di Eropa, blokade atas rencana serangan militer AS ke IRAN, dan penghentian suplai Gas beberapa hari ke sejumlah negara Eropa, adalah bukti garis ekstrim ”neo-KGB” mewarnai sikap-sikap nasional dan Internasional Rusia. Dipimpin duet Presiden Medyedev dan Perdana Menteri Vladimir Putin serta bantuan ribuan agen siloviki, Rusia penuh percaya diri kembali ke panggung percaturan politik global. Mongolia, Iran, Pakistan, dan India mulai menjajaki hubungan strategis dengan kedua negara diatas(RUSIA – China).
Tepat di benua Amerika, di jazirah Amerika Latin, trio Hugo Chavez-Fidel Castro-Evo Morales bangkit dengan spirit Revolusi Bolivarian. Mengusung konsep integrasi kawasan mengimbangi penetrasi Neoliberalisme AS dan menawarkan satu bentuk “neo-Sosialisme” atau “Nasionalisme-Radikal” untuk mengangkat kembali masyarakat mereka dari kubangan krisis ekonomi. Referendum nasional yang baru-baru ini digelar di Bolivia dan dimenangkan oleh Evo Morales, makin mengukuhkan resistensi rakyat Amerika Latin atas supremasi AS diwilayah ini. Meski sebagian negara masih ragu, namun arus pasang anti neoliberalisme makin tak terhindarkan.
Tetangga Amerika Latin, Afrika juga tak mau ketinggalan. Melalui kerja panjang, akhirnya Uni Afrika resmi menghadirkan diri sebagai kekuatan regional baru. Kepemimpinan kawasan ini dipercayakan pada Moammar Khadafi, pemimpin Libya. Mereka punya segudang masalah. Mulai dari meredam konflik nasional dalam sejumlah negara, krisis pangan esktrim, penyebaran virus HIV-AIDS, aksi perompak Somalia, hingga perdagangan senjata yang memicu perang fisik dimana-mana. Semangat sosialisme atau setidaknya model ekonomi pasar sosial terus diuji-coba sebagai jalan menghindari kepunahan bangsa Afrika.
Di benua ASIA, ketegangan berlangsung ditiga titik utama. Zona satu ada di timur tengah/asia barat. Agresi Israel atas Palestina yang hingga kini belum berhenti telah memicu kecenderungan konflik regional. Iran sejauh ini masih sangat berhati-hati menghadapi situasi. Selain bantuan makanan dan kesehatan, gerilyawan Hezbollah juga membantu perlawanan bersenjata HAMAS. Sebagian negara-negara petro-dollar jazirah Arab(Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait) bersikap mendua: prihatin atas nasib rakyat Palestina, tapi membiarkan Israel meng-isolasi jalur Gaza.
Zona kedua, berada diseputar Asia Tengah dan Asia Selatan. Isu Afghanistan tetap jadi fokus utama. Ribuan tentara gabungan AS dan NATO(Pakta pertahanan atlantik utara) terus mengalir dalam perang yang diklaim melawan Terorisme dan Al Qaedah. Siapapun faham, Afghanistan hanyalah sasaran antara dari satu rencana besar AS untuk membuat pangkalan militer dan ekonomi mengimbangi China dan Rusia. Sikap Kyrgiztan baru-baru ini yang memutuskan menutup area militer AS dinegara mereka, telah memicu ketegangan kawasan. Sikap ini adalah buah ”pembalasan” yang dilakukan oleh Rusia atas operasi politik CIA dalam tubuh pemerintah Georgia.
Di Asia Selatan, India dan Pakistan sudah sampai ketahap persiapan perang. Pemerintah India secara terbuka mengungkapkan keterlibatan Intelijen Pakistan dalam penyerangan Hotel Mumbai yang menewaskan ratusan orang. Pihak Pakistan masih terus berkelit, dan mengatakan peristiwa itu sebagai aksi terorisme murni, sebagai hal logis atas ketidakbecusan India menangani isu Kashmir. Tidak jauh dari India, pertempuran sengit terus berlangsung antara gerilyawan Macan Tamil dengan angkatan bersenjata nasional Srilanka. Ratusan warga sipil sepanjang tiga bulan terakhir tewas, dan ribuan memilih untuk mengungsi.
Zona ketiga adalah Asia Timur dan Asia Tenggara. Asia Timur secara umum dan asia tenggara secara khusus sejak mengalami krisis dan stagnasi ekonomi dipenghujung tahun 1997, belum stabil sepenuhnya. Nilai mata uang baht, milik Thailand, tanggal 2 juli tahun 1997 runtuh. Dengan sangat cepat efek berantai ke negara-negara tetangga ikut kelimpungan. Malaysia, Singapura, Filiphina, dan Indonesia, mengalami depresiasi nilai mata uang. Bahkan menimbulkan kepanikan yang berujung pada pelarian modal keluar negeri dalam jumlah massif. Ditangan mantan perdana menteri Thaksin shinawatra, Thailand kembali menormalisir nafas ekonomi, meski masih terus didera ancaman krisis yang akut.
Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, masih sering dicap sebagai frontline dari AS menghadapi Korea Utara dan China. Konflik teritorial antara Jepang dengan China selalu tak terhindarkan. Sebagian kelompok politik liberal dan nasionalis Jepang telah sering memperingatkan agar pemerintahan mereka menjaga jarak dengan Amerika Serikat. Mereka tidak ingin Jepang hanya dijadikan kartu permainan yang hanya akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan nasionalnya. Situasi rumit dan saling jepit selalu menghantui Jepang, korsel, korut, taiwan, dan China. Beruntung, konflik politik tidak mempengaruhi relasi dagang dan sosial antar mereka. Ikatan religi konfusian agaknya cukup membantu sebagai perekat sosial.
Ada dua komunitas regional yang tumbuh berkembang: ASEAN dan KTT Asia Timur. ASEAN tidak mengalami kemajuan apapun, bahkan beberapa problem internal antar negara atau intern negara tidak terfasilitasi dengan baik. Misalnya, ketegangan antara Myanmar dengan Thailand. Lalu otoritarianisme politik Junta Militer Myanmar atas Aung San Su Kyi. ASEAN juga kerepotan memberi masukan kepada keduanya, terkait posisi China dan AS dalam konflik ini. Itu belum termasuk ketegangan di Thailand Selatan dan Filiphina Selatan. Dua wilayah ini terus bergolak akibat pola resolusi konflik dan pentahapan konsensus nasional yang tidak tepat.
KTT Asia Timur tidak akan pernah terakumulasi menjadi arena bersama yang demokratis dan adil, sebab selalu tidak lepas dari pertarungan kepentingan. China berniat membawanya kegaris SCO, sedang Australia dan Jepang tentu ingin merangkul KTT Asia Timur masuk dalam rumus strategis yang digariskan oleh UKUSA(United Kingdom, United State, Australia). Regionalisme diwilayah ini tidak sekuat arus yang berlangsung di Amerika Latin atau Afrika. Wilayah Asia Timur dan Tenggara, justru mirip dengan Timur Tengah. Saling kunci antar dua negara bertetangga, bisa berlangsung hingga ketingkat fatal. Keadaan ini malah makin melemahkan negara-negara sekawasan.





to be continued...... (Mundur Satu Langkah: Akhir Dari Pax Americana?)

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 24 November 2010

Kalian KIRI apa KANAN sih..???

PEMETAAN SISI OPURTUNIS PRAGMATIS DAN PROGRESIF
buminaraka

Tabea…..!!
Keyword: Institusi secara sistematis menindas kita.


Pertama penulis sengaja menggiring pada bentuk oposisi dari dikotomi Kiri atau Kanan, pola ini dikarenakan penulis tidak mengharapkan penegasian posisi, sekaligus proses terkini dari penaklukkan dan juga judge mental yang dimenangkan oleh penulis sendiri. Dikotomi kiri dan kanan dalam arus gerakan sosial (yang saat ini kalian sedang geluti) memberikan cita rasa pada kemampuan dan sikap yang diselimuti dengan semangat. Ingat Kemampuan, sikap dan semangat. Idiom Kanan dimulai pada sebuah posisi dimana person yang juga menyatu dalam kolektivitas ideologis (partai, organisasi dll) difungsikan atau memfungsikan diri pada posisi (status quo) yang dalam sepak terjangnya memainkan pola;maaf Menjilat, Memuja, Mendukung dengan sesekali mengkritik (itupun dari belakang) pada kekuasaan atau pada sebuah institusi (contoh; salah satu partai pada masa Orba, saat ini Kalian atau Organisasi kalian pada suatu institusi, universitas misalnya?) nah…. Yang mencederai posisi kanan adalah bentuk kontrak dengan imbalan materi (harta atau tahta). Satu yang terlupakan, posisi Kanan juga rentan dengan pemanfaatkan dan penghianatan, yang perlu dikoreksi setelah ini, apakah kalian dimanfaatkan atau dikhianatai, atau kaliankah pengkhiat itu..?? sedangkan Idiom Kiri pada arus sosial sarat akan proses yang bertujuan pada situasi sosial yang berkeadilan. Karakteristik ke-Kiri-an memainkan bentuk-bentuk kritik abadi, protes berkelanjutan ditunjang dengan pembacaan akan realitas penindasan (ingat kita belum Merdeka) oleh sebuah sistem atau institusi.

Dalam Ke-kiri-an sangat sering berhadapan dengan yang namanya dikhianati bukan menghianat, ini dikarenakan person-person dalam kolektivitas tidak tahan dengan ruang tekanan yang ditimbulkan/dikonstruksikan oleh kekuasaan (status quo). Perlu diingat bahwa Kiri bukanlah bentuk kekerasan yang mengarah pada sebuah pengorbanan fisik (kalau yang seperti itu biasa disebut Teroris), kiri adalah bentuk kemampuan, sikap dan semangat Humanis dengan cita-cita memanusiakan manusia. 
Kalian yang merasa tidak berada pada posisi memihak atau netral justru mengarah pada posisi kanan..!! hal ini tentunya beralasan, sikap diam, bungkam dan menyepelekan keadaan, atau hanyut dalam bentuk pemenuhan ekspresi pribadilah yang menentukan posisi kalian untuk menjadi Kanan..!! juga kalian sangat mungkin dikhianati..!!(maaf)
Tulisan yang dibaca ini tidak menekankan sebuah bentuk pengakuan (Testimoni) untuk memilih Kanan atau Kiri. Penulis berharap pembaca mampu mengidentifikasi apakah kita atau kalian mempunyai kemampuan, sikap dan semangat humanis tanpa harus menjadi kiri…!! Karena kanan kering akan semangat Humanis….!! Tanggung jawab intelektual dijadikan mekanisme pertahanan diri dan kekuatan untuk melawan…

Waspadalah karena kalian sangat mungkin untuk dikhianati atau menjadi Pengkhianat
Mysterium tremendum et fascinosum

Bumi Tepi Danau

[+/-] Selengkapnya...

FASILITATOR PMII

FASILITATOR

Dalam proses kaderisasi di PMII yang dimana perlu adanya kemampuan dari para kader yang mengerti dan memahami setiap kerangka pengetahuan dalam tubuh PMII. Diketahui pula proses injeksi pengetahuan perlu suatu keahlian khusus yang didapat dalam kelas-kelas diskusi maupun pelatihan internal pengurus cabang. Dalam tubuh kepengurusan cabang dituntut kemempuan lebih dari kader tersebut, jadi perlu adanya pelatihan fasilitator guna mentransfer pengetahuan bagi setipa calon warga pergerakan.

Pelatihan fasilitator merupakan kegiatan mentransfer kesadaran yang nantinya dapat lebih radikal dan dapat dijadikan ideologi dalam proses berdialektika arus sosio-kultural.

Sasaran dari kesemua pengetahuan ini yakni manusia sebagi subjek yang aktif dan mempunyai daya pikir yang kritis dan menginginkan kemajuan. Dalam menginjeksikan kesadaran ada beberapa poin penting yang merupakan hakikat dasar dari proses kaderisasi yang antara lain:

1.Nilai: dalam mengideologikan semua materi dalam pmii dan membentuk insan radikal yang progresif perlu adanya suatu sistem moral yang yang dapat menata secara menyeluruh kepribadian kader.

2.Keyakinan: sebagai organisasi yang barbasis kultural religius dituntut untuk membentuk insan religius berdasarkan suatu keyakinan yang dianutnya.

3.Pengetahuan: kerangka pengetahuan dibutuhkan guna menganalisa segala bentuk wacana-wacana yang bergerak di level social dan juga dapat menjadikan calon warga pergerakan lebih bersifat kritis.


Adapun fungsi dasar dari peran fasilitator adalah Untuk Membangun Sarana Bersama Di Suatu Forum Bersama. Dari fungsi dasar tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sarana yang dimaksud adalah kesadaran dan posisi yang disuntikan dalam suatu kegiatan ataupun forum guna mencapai keinginan dari yang memberi sarana.
Kebutuhan akan stok kader ditetentukan cukup tidaknya kemampuan kader awal dari proses menggali pengetahuan baik itu yang diperoleh dari luar maupun dari dalam tubuh organ PMII. Yang nantinya dapt diregenerasikan dalam proses pendidikan PMII secara kontinyu.

Materi
    Penguasaan materi tidak hanya terpusat pada pokok-pokok materi mapaba tetapi lebih luas mencakup semua wacana ataupun disiplin pengetahuan yang kiranya bisa menopang argumentasi atau menambah pemahaman lebih dalam tentang materi-meteri pokok, hal ini bisa menjadi patokan sejauh mana fasilitator bisa menyeleksi wacana yang berkembang.

Penutup
    Beranjak dari identitas warga pergerakan (mu’takid) menuju kader yang ideologis (mujahid) sudah seharusnya ditopang dengan bangunan pengetahuan yang matang sehingga mampu secara intelektual memposisikan diri dan bersikap di ranah realitas social yang terjadi.

[+/-] Selengkapnya...

Weezer, Buterfly

Yesterday I went outside
With my momma's mason jar
Caught a lovely Butterfly
When I woke up today
Looked in on my fairy pet
She had withered all away
No more sighing in her breast
I'm sorry for what I did
I did what my body told me to
I didn't mean to do you harm
Everytime I pin down what I think I want
It slips away - the ghost slips away
I smell you on my hand for days
I can't wash away your scent
If I'm a dog then you're a bitch
I guess you're as real as me
Maybe I can live with that
Maybe I need fantasies
A life of chasing butterfly

I'm sorry for what I did
I did what my body told me to
I didn't mean to do you harm
Everytime I pin down what I think I want
It slips away - the ghost slips away

I told you I would return
When the robin makes his nest
But I ain't never coming back
I'm sorry, I'm sorry, I'm sorry

[+/-] Selengkapnya...

The Script, The Man Who Can't Be Moved

Going back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag, I'm not gonna move
Got some words on cardboard, got your picture in my hand
Saying if you see this girl can you tell her where I am

Some try to hand me money, they don't understand
I'm not broke I'm just a broken hearted man
I know it makes no sense, but what else can I do
How can I move on when I've been in love with you

'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'd see me waiting for you on the corner of the street

So I'm not moving
I'm not moving

Policeman says son you can't stay here
I said there's someone I'm waiting for if it's a day, a month, a year
Gotta stand my ground even if it rains or snows
If she changes her mind this is the first place she will go

'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you see me waiting for you on the corner of the street

So I'm not moving
I'm not moving
I'm not moving
I'm not moving

People talk about the guy
Who's waiting on a girl, oh whoa
There are no holes in his shoes
But a big hole in his world

Maybe I'll get famous as the man who can't be moved
And maybe you won't mean to but you'll see me on the news
And you'll come running to the corner
'Cause you'll know it's just for you

I'm the man who can't be moved
I'm the man who can't be moved

'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we meet
Oh, you see me waiting for you on a corner of the street

So I'm not moving
('Cause if one day you wake up, find that you're missing me)
I'm not moving
(And your heart starts to wonder where on this earth I could be)
I'm not moving
(Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet)
I'm not moving
(Oh, you see me waiting for you on a corner of the street)

Going back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag, I'm not gonna move

[+/-] Selengkapnya...

SOFA


Entah kenapa aku memikirkan tentang sofa
memilikinya menjadi butir harapan yang ingin ku genggam
tidak harus banyak
nampak saja bentuknya akan tetapi kumiliki
tak perlu indah
ada saja wujudnya untuk bersandarku
duduk diatasnya jelas itu yang kuinginkan
pasti denganmu
diatasnya kita akan menceritakan banyak hal

diatasnya kita akan merumuskan banyak hal
mungkin juga diatasnya kita akan menyelesaikan permasalahan tentang kita
hahahahahah
satu sofa saja


jelas dia kan usang
seiring putih rambut kita, seiring besar anak kita
seiring tua umur kita
dia pun turut senja bersama
layaknya hamba pada tuannya
dia pun mengabdikanya dirinya untuk apa yang kita harapkan

sampai harapan itu terwujud dia tetap bersama

aku ingin seprti sofa itu

aku akan memilikinya sebagai monumen kebersamaan kita

[+/-] Selengkapnya...

orientasi

Jelas manusia harus hidup berdampingan
Aku mau kau yang mendampingiku,
Saat semua berdiri dan berpengangan
Aku mau kau dalam pelukanku

Seperti kebanyakan orang, mereka memliki mimip
Mimpi yang mereka rasai dapat memberi kebahagiaan
Saya pun demikian juga
Namun terasa berbeda saat hal yang aku mimpikan

Pernah kurasakan kebahagiaannya
Mereka pun menyebutnya kenangaan
Mengantungkkan hidup pada siklus detik
Menegaskan seganap imaji untuk kongrit pada momentum waktu yang terukur

Akupun mengukur ketepatan waktu itu dengan
Harapan yang kalian sebut mimpi
Tak tau kapan habis waktu ini
Kalaupun hal itu sampai

Aku mau kau masih berdiri disampingku

[+/-] Selengkapnya...

MEMASANG META TAG OTOMATIS

1. LOGIN DULU..!


2. tata letak > edit html

TUNGGU SAMPAI BENAR LOADINGNYA SELEASI (BUAT KONEKSI LAMBAT)

CARI CODE DIBAWAH INI,




Dapat kan…??

3. LALU REPLACE KODENYA DENGAN KODE DIBAWAH INI:




4. SETELAH SELESAI DI EDIT N REPLACE, SAVE TEMPLATE KAMU

5. GAMPANG KAN..?

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 22 November 2010

SETELAH BERDISIKUSI DENGAN EMILE DURKHEIM (Part 1)

Oleh; Buminaraka

Pertama-tama perlu di ketahui, pemikir sosial ini berusaha untuk menegaskan bahwa masyarakat sebagai unsur utama dalam membentuk perilaku individu, mampu untuk dijelaskan secara ilmiah dalam sosiologi, pada waktu itu sosiologi merupakan sebuah arus baru pemikiran yang tumbuh dari kesadaran politik pasca revolusi politik prancis dan didasari mulai terciptanya fenomena baru dalam masyarakat pasca Revolusi Industri. Ketertarikan yang sama antara Durkheim pada aliran baru yang bernama sosiologi didasari pada kedekatannya dengan Aguste comte, dan pada kemudian hari pula Durkheim mengkritik Comte karena latar belakang filsafatnya, Kritikan Durkheim dikarenakan comte selalu menggunakan alur berfikir filsafat yang abstrak dalam menjelaskan realitas masyarakat pada saat itu yang tendensinya bermuara pada penegasan bahwa sosiologi akan dijadikan cabang filsafat, hal itu lah yang mendasari durkheim untuk mengilmiahkan masyarakat dan menjadikan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan bukan bagian atau cabang dari filsafat.
Karakter indvidu yang terbentuk akibat proses interaksinya dalam masyarakat, menurut durkheim didasarkan pada fakta sosial yang membentuknya, fakta sosial yang dimaksud adalah seluruh cara bertindak, baku atau tidak yang berlaku pada diri individu sebagai paksaan eksternal, atau bisa juga diartikan fakta sosial adalah seluruh cara bertindak umum yang dipakai dalam masyarakat, pada saat yang sama keberadaaan fakta sosial terlepas dari manifestasi individual.

Fakta sosial yang dirumuskan durkheim terdiri atas struktur sosial, norma budaya, dan nilai, yang kesemuanya bersifat eksternal dan memaksa individu yang sepakat akan kondisi tersebut. Diranah inilah point penegasan durkheim, menurut saya sebenaranya apa yang disebut sebagai fakta sosial merupakan hasil rumusan individu dalam kelompok masyarakatnya, akan tetapi latensi dari sturktur sosial dan nilai budaya tadi kemudian ditegaskan oleh durkheim bersifat memaksa dan menjadikan individu patuh. Ada predikat kesepahaman ketika individu merumuskan nilai-nilai yang menjaga eksistensi masyarakat, maka dirumuskanlah sturktur sosial, dan nilai budaya tadi. Sekali lagi durkheim ingin menegaskan pada ruang inilah yang sebenarnya menarik untuk dijadikan landasan dalam proses mengilmiahkan masyarakat, kesemua hal tersebut merupakan kondisi rill yang ada dalam masyarakat, mempelajarinya menurut durkheim bisa melalu proses empiris dan observasi. Berbeda dengan pendapat comte yang menjelaskan masyarakat melalui perspektif abstrak dari filsafat.

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 19 November 2010

NEGARA DAN PERKEMBANGAN SAINS DAN TEKNOLOGI

Oleh: Muh Isa Ramadhan



Situasi global negara-negara diberbagai kawasan, hari ini semakin terpola pada semangat regionalisme ekstrim sehingga mempunyai kecenderungan untuk membentuk model yang multipolaristik, keadaan tersebut berimbang dengan kemampuan pengembangan pengetahuan ditiap-tiap konsentrasi kekuatan. Kemajuan pengetahuan dan penciptaan teknologi mutakhirlah yang menjadi spirit pemersatu diantara kepentingan kekuatan yang konsentris. Spirit globalisasi saat ini bergeser pada peran yang tidak lagi berkonfrontasi secara langsung, hal tersebut menciptkan keadaan lebih kondusif dan menawarkan spirit restorasi visi negara maju yang tidak berorientasi lagi pada unjuk kekuatan (show force) melainkan semakin berorientasi pada upaya penuh penciptaan kuasa teknologi lewat dominasi sains. Sejatinya kompetisi global saat ini menciptakan gerak negara menuju pada percepatan kapasitas pengetahuan dan peningkatan sumber daya manusia. Pada dasarnya kondisi dan geliat untuk melepaskan diri dari pertarungan adidaya haruslah menjadi substansi dalam gerak yang diprioritaskan pada pencapaian kemapuan internal dalam negeri. Tema sains dan teknologi saat ini begitu massif dimainkan oleh berbagai negara sebgai instrumen percepatan kemampuan gerak negara tersebut. Kenyataannya perkembangan sains dan teknologi mampu mengusung perubahan yang fundamental dalam aras hidup manusia. Kecepatan perubahan tersebut masih dalam harap terciptannya tatanan kehidupan umat manusia yang terus bergerak maju. Sains dan teknologi sebagai prioritas dalam gerak global bisa memainkan instrumen diplomasi dalam mempekuat posisi tawar negara (bergaining), sejak lama kita selalunya diperhadapkan pada instrumen diplomasi politik dan pertahanan, sedikit negara yang menggunakan sains sebagai diplomasi, jepang misalnya memainkan peran diplomasi sains yang kemudian diikuti oleh negara seperti amerika serikat. Hal ini tentu punya prasyarat mutlak yaitu kemampuan sains yang tinggi dari negara. Selintas melihat kemampuan bangsa lain dalam pengetahuan.

Bangsa-bangsa yang wilayahnya menjadi arena pertarungan kekuatan dunia pada masa perang dunia, saat ini beramai-ramai dan begitu giat dalam usaha mengejar kecepatan pengetahuan. Hal itu terbukti jepang dengan kemampuan teknologi yang bisa menghasilkan penciptaan teknologi yang mutakhir. China yang beberapa yang beberapa decade kemarin hanya sibuk pada perdebatan idiologisasi Negara, saat ini berhasil menjadi salah satu Negara industry manufaktur terbesar didunia. India dan Iran merupakan Negara-negara yang pada periode tahuan 90-an jauh dibawah Indonesia dalam hal perkembangan Negara, saat ini menjadi Negara yang digadang-gadang akan menjadi kekuatan baru di kawasan asia, negara yang terakhir disebut merupakan salah satu negara yang taraf perkembangan pengetahuannya cukup signifikan. Hal ini dimungkinkan karena Negara-negara tersebut sangat serius dalam usaha menumbuhkembangkan spirit berpengetahuan bangsanya. Sementara menghadapi kenyataan tersebut, situasi kebangsaan hari ini hanya berkutat pada pusaran arus permasalahan kenegaraan, hal tersebut semakin berekses negative pada kesadaran berpengetahuan kebangsaan.Kenyataan kehidupan berbanga hari ini yang terus menerus terjebak pada pusaran pertarungan global dan menciptakan iklim konflik yang bermuara pada kehancuran tatanan kehidupan kebangsaan, kondisi demikian harusnya bisa di proteksi secara maksimal dengan kemampuan pengetahuan anak bangsa. Pengetahuan global yang bergerak sangat cepat, bukan ditanggapi sebagai tuntutan untuk meraih hal tersebut, melainkan mendisiplinkan kita untuk mengambil sikap menunggu dan diam pada ruang berfikir dan berkutat pada permasalahan diri. Bangsa ini lengah dalam menyadari hal tersebut di atas. Kesadaran bernegara hari ini seharusnya melatih kita untuk membanguan kesadaran berpengetahuan disetiap lapisan bangsa ini. Kenyataan tersebut seharusnya membuahkan sikap jelas mempertegas bahwa prasayarat bangsa yang harus terdidik secara pengetahuan. Kecepatan gerak pengetahuan seharusnya menjadi prioritas untuk segera mengalokasikan energy dan segenap kemampuan gerak fikir dalam pencapaian pengetahuan mutakhir. Situasi terkini terkini terkait kondisi global berada dalam pusaran gerak negara-negara Pada dasarnya kondisi dan geliat untuk melepaskan diri dari pertarungan adidaya haruslah menjadi substansi dalam gerak yang diprioritaskan pada pencapaian kemampuan internal dalam negeri.

[+/-] Selengkapnya...