Powered By Blogger
terima kasih sudah berkunjung di blog ini, salam kenal dari saya. anda termasuk orang yang gemar mencari, terlepas dari popularitas dan perkenalan...!

Senin, 13 Desember 2010

Epistemologi Marx



Epistemologi Marx


Epistemologi Marx merupakan bagian tak terpisahkan dari doktrinnya tentang Alam dan Esensi. Konsep Marx tentang esensi, dalam hal-hal tertentu, mirip dengan konsep Aristoteles. Bagi Aristoteles, esensi sesuatu adalah bentuk (form), dan ini secara teoritis kemudian menjadi pegangan dalam mendefinisikan benda-benda. Lebih dari itu, bagi Aristoteles, benda (thing) sesung-guhnya dapat dikatakan menjadi apa adanya ketika ia mencapai pemenuhan bentuknya, daripada ketika ia masih berada secara potensial. Essensi dari suatu benda ditunjukkan dalam proses perkembangan yang bersamanya bentuk atau esensi itu dicapai. Namun, bagi Aristoteles, bentuk atau finalitas dari suatu benda adalah tetap dan tak berubah, berbeda dengan Marx dimana esensi berubah dan berkembang melalui sejarah.
Marx menyebutkan bahwa kebutuhan (need) yang sebenarnya menghubungkan esensi dan eksistensi. Kebutuhan menunjukkan kehar-usan bagi esensi untuk melengkapi aktualisasinya dalam eksisten-si. Esensi manusia melibatkan sebuah hubungan yang terkait antara alam dan kesadaran. Alam adalah obyek dari teori (sebagai contoh ilmu alam, seni, dll), dan dari praxis (contohnya, materi dan alat yang mentransformasi alam lewat kerja untuk memuaskan kebutuhan).
Dengan demikian kita dapat mengerti pemahaman Marx tentang hubungan teori dan praxis. "Praxis" diartikan Marx sebagai ak-tivitas praktis yang mentransformasi obyeknya atau dunia dalam rangka menyatakan esensinya. Kerja dan aksi revolusioner adalah contoh yang baik dari praxis. Sedangkan "teori" yang dimaksudkan Marx adalah aktivitas pikiran atau kesadaran. Contoh yang baik untuk hal ini adalah kritisisme, ilmu, atau filsafat.
Keberadaan dan Kesadaran
Tentang kesadaran, dalam German Ideology, Marx menjelaskan hubungan antara kesadaran dan kebutuhan itu bersifat historis. Menurut Marx: "... dari hubungan historis yang asali, kita menemukan bahwamanusia juga memiliki "kesadaran." Sekalipun begitu ini bukanlah kesadaran "murni", asali. Dari permulaan, "jiwa" merana dengan "beban" materi, yang muncul dalam kasus ini dalam bentuk lapisan-lapisan yang bergerak-gerak di udara, suara, singkatnya bahasa. Bahasa itu sama tuanya dengan kesadaran, bahasa ialah kesadaran yang praktis, sebagaimana ia ada untuk manusia lain, dan karena itu sebagaimana ia ada pertama-tama untuk saya sendiri. Bahasa, sebagaimana kesadaran, hanya berasal dari kebutuhan, keperluan berhubungan dengan manusia lain. Ketika ada hubungan, hubungan itu ada untuk saya; binatang tidak punya "hubungan" dengan apa-pun, tidak mempunyai hubungan sama sekali. Bagi binatang, hubun-gannya dengan yang lain tidak ada sebagai suatu hubungan. Kesa-daran, karena itu, sejak awal mulanya sekali adalah produk so-sial, dan tetap demikian selama manusia ada. Tentu saja, kesadar-an pertama-tama hanyalah kesadaran tentang lingkungan dekatyang bisa diindera dan kesadaran tentang kaitan terbatas dengan orang lain dan hal-ihwal di luar individu yang menjadi sadar-diri. Pada saat yang sama, itu adalah kesadaran tentang Alam, yang bagi manusia pertama-tama tampak asing sama sekali, berkuasa, dan sebagai kekuatan yang tidak bisa diserang, dengan apa hubungan manusia bersifat murni binatang dan dengan apa mereka diambil-alih oleh binatang buas; karena itu ini adalah kesadaran murni binatang tentang Alam (agama alamiah)".
Menurut Marx, pada saat yang sama jelas bahwa agama alamiah ini, atau perilaku tertentu terhadap Alam, dikondisikan oleh bentuk-bentuk masyarakat dan sebaliknya. Di sini, seperti di Štempat-tempat lain identitas Alam dan manusia tampak, di dalamnya hubungan terbatas manusia dengan Alam menentukan hubungan terba-tas satu sama lain, dan hubungan terbatas mereka satu sama lain menentukan hubungan terbatas mereka dengan Alam, hanya karena jarang modifikasi historis Alam telah terjadi. Di pihak lain, terdapat kesadaran manusia tentang kebutuhan berasosiasi dengan individu-individu di sekitarnya, dan awal mula kesadarannya bahwa ia hidup dalam masyarakat. Awal mula ini sama binatangnya dengan kehidupan sosial itu sendiri pada tahap ini. Ini hanyalah kesa-daran-gerombolan, dan manusia hanyalah berbeda dengan kambing pada titik ini, oleh kenyataan bahwa baginya kesadaran mengganti-kan tempat naluri, atau bahwa nalurinya adalah naluri yang disa-dari.
Dalam karya yang sama, Marx melanjutkan,"...Kesadaran yang seperti domba atau kesadaran kesukuan mengalami perkembangan dan perluasan lebih lanjut melalui peningkatan produktivitas, peli-pat-gandaan kebutuhan, dan, apa yang mendasari keduanya, penin-gkatan jumlah penduduk. Sejalan dengan perubahan-perubahan ini terdapat perkembangan pembagian kerja dalam masyarakat yang pertama-tama tidak lain adalah pembagian kerja dalam tindakan seksual, dan kemudian pembagian kerja yang yang muncul secara spontan atau "alamiah" berdasar atas kemampuan alamiah (yaitu kekuatan badan), kebutuhan, kebetulan, dsb..."(Marx, 1964:72).
Kerja mentransformasi alam dalam dua cara. Ia mentransformasi obyek alam dan ia juga mentransformasi subyek. Dua perkembangan ini saling tergantung secara dialektis. Di samping itu, kesadaran berkembang dengan bertambahnya aktivitas produksi, kebutuhan baru, populasi yang bertambah, hubungan yang sangat kompleks, dan pembagian kerja. Dengan munculnya pembagian antara kerja mental dan kerja fisik, maka muncullah teori abstrak, pandangan filsafat dan moralitas (Kain, 1986;49).

Manusia sangat tergantung pada produksi yang mereka lakukan, tentang apa dan bagaimana mereka berproduksi. Subyek dan obyek itu keduanya ditransformasikan secara historis. Dunia yang diin-drai bukanlah sesuatu yang tak dapat dirubah. Obyek sederhana dari persepsi adalah produk industri dan hubungan produksi.
Dalam Economic dan Philosophical Manuscripts, Marx menjelas-kan lebih lanjut soal ini: "...Sejarah industri, dan industri sebagaimana ada secara objektif, adalah buku terbuka tentang kemampuan manusia, dan psikologi manusia yang bisa secara lang-sung dipahami. Sejarah ini sebelumnya tidak dipahami dalam hubun-gan dengan alam manusia, tetapi hanya dari titik pandang utili-taran yang superfisial, karena, dalam kondisi alienasi, kemungki-nan satu-satunya ialah memandang kemampuan nyata manusia, dan tindakan-spesies manusia, dalam bentuk keberadaan abstrak manusia, yaitu, agama, atau sebagai sejarah dalam bentuk umum dan abstrak, politik, seni, dan sastra. Industri sehari-hari, materi-al [...] memperlihatkan kepada kita, dalam bentuk objek-objek yang bisa diindera, eksternal, dan berguna dalam bentuk teralien-asi, kemampuan esensial manusia ditransformasi menjadi objek-objek. Tidak ada psikologi untuk mana buku ini, yaitu bagian dari sejarah yang paling kelihatan dan bisa diperoleh, tetap tertutup, bisa menjadi ilmu yang tulen dengan isi yang nyata. Apa yang harus dipikirkan tentang ilmu yang masih tetap jauh dari bidang kerja manusia yang sangat besar, bidang ilmu yang tidak mengakui ketidak-memadaiannya sendiri, selama kekayaan besar aktivitas manusia tidak berarti apa-apa baginya, kecuali barangkali apa yang bisa diekspresikan dalam satu kata--"kebutuhan" atau "kebutuhan bersama"?
Ilmu-ilmu alamiah telah mengembangkan aktivitas yang hebat sekali dan telah mengumpulkan massa data yang terus bertambah. Tetapi filsafat tetap jauh dari ilmu-ilmu itu sama seperti ilmu-ilmu itu jauh dari filsafat. Mendekatnya mereka sementara waktu hanyalah khayalan fantastik. Ada hasrat untuk menyatu, tetapi kekuatan untuk mewujudkannya sangat kurang. Historiografi sendiri hanya mengambil ilmu alam secara tidak sengaja ke dalam ka-jiannya, menganggapnya sebagai satu faktor yang membuat pencera-han, untuk kegunaan praktis, dan untuk penemuan-penemuan besar tertentu. Tetapi ilmu-ilmu alam telah menyusupi semua dengan lebih praktis ke kehidupan manusia, melalui transformasi mereka atas industri. Ilmu-ilmu alam telah mempersiapkan emansipasi manusia, sekalipun akibat langsungnya menegaskan dehumanisasi manusia. Industri adalah hubungan historis nyata Alam, dan dengan demikian hubungan historis nyata ilmu-ilmu alamiah, dengan manu-sia. Konsekuensinya, jika industri dianggap sebagai bentuk ekso-teris dari realisasi kemampuan esensial manusia, kita mampu memperoleh juga esensi manusiawi dari Alam atau esensi alamiahmanusia. Ilmu-ilmu alam akan meninggalkan orientasi abstrak materialis, atau tepatnya idealis, dan akan menjadi basis dari ilmu manusia, sebagaimana mereka telah menjadi --meskipun dalam bentuk teralienasi--basis dari kehidupan manusia sebenarnya. Satubasis untuk kehidupan dan basis yang lain untuk ilmu adalah suatu kesalahan a priori. Alam, sebagaimana berkembang dalam sejarah manusia, dalam asal mula masyarakat manusia, adalah alam nyatamanusia; maka Alam, sebagaimana ia berkembang melalui industri, walaupun dalam bentuk teralienasi, adalah Alam antropolgis yang sebenarnya (Marx, 1964;73).
Marx mengatakan bahwa tingkat sejauh mana solusi persoalan teoretis adalah tugas praktis, dan dilakukan melalui praktek, dan tingkat sejauh mana praktek yang tepat adalah kondisi dari teori yang benar dan positif, diperlihatkan misalnya dalam kasus fetishisme. Persepsi indera dari fetishist berbeda dengan persep-si indera seorang Yunani karena keberadaan inderawinya berbeda. Permusuhan abstrak antara indera dan jiwa tidak bisa dihindari sejauh indera manusia untuk Alam, atau makna manusia tentang Alam, yakni, konsekuensinya, indera alamiah manusia, belum dipro-duksi melalui kerja manusia sendiri.
Karena itu faktanya ialah bahwa individu-individu tertentu, yang aktif secara produktif dalam cara tertentu, memasuki hubungan-hubungan sosial dan politik tertentu ini. Dalam tiap-tiap kasus partikular, observasi empiris harus memperlihatkan secara empiris, dan tanpa mistifikasi atau spekulasi, hubungan antara struktur sosial dan politik dengan produksi. Struktur sosial dan Negara secara terus menerus berkembang dari proses-hidup indivi-du-individu tertentu, individu-individu tidak seperti yang terli-hat dalam imajinasi mereka sendiri atau orang lain, tetapi seba-gai nyatanya mereka: yakni, sebagaimana mereka bertindak, mengha-silkan kehidupan material, dam tinggal dalam batas-batas, per-sangkaan-persangkaan, dan kondisi-kondisi material tertentu, yang bebas dari kehendak mereka.
Dalam German Ideology ia menambahkan, "Produksi gagasan, konsepsi, dan kesadaran pertama-tama saling berkait secara lang-sung dengan aktivitas material dan hubungan material manusia, bahasa dari kehidupan nyata. Representasi dan pemikiran, hubungan mental manusia, tetap terlihat pada tahap ini sebagai berasal langsung dari perilaku mental mereka. Hal yang sama berlaku untuk produksi mental sebagai diekspresikan dalam bahasa politik, hukum, moral, agama, dan metafisik dari orang-orang".
Manusia adalah penghasil konsepsi dan gagasan. Mereka--manusia nyata yang aktif, sebagaimana mereka dikondisikan oleh perkembangan tertentu kekuatan produktif mereka, dan perkem-bangan hubungan-hubungan yang berkorespondensi dengan ini, sampai bentuknya yang paling ekstensif. Kesadaran tidak pernah merupakan sesuatu selain keberadaan yang sadar, dan keberadaan manusia Šadalah proses hidup aktual mereka.
Marx mengatakan bahwa pandangan filsafatnya berbeda filsafat Jerman, yang menurutnya, "...turun dari langit ke bumi, di sini kita naik dari bumi ke langit. Yakni kita tidak berangkat dari apa yang dikatakan, dibayangkan, atau dianggap orang, tidak juga dari apa yang dikatakan, dipikirkan, dibayangkan, dianggap ten-tang manusia, untuk mencapai manusia dalam daging itu. Kita memulai dari manusia nyata, aktif, dan dari proses-hidup nyata mereka memperlihatkan perkembangan cerminan-cerminan ideologis dan gaung-gaung proses-hidup ini. Hantu-hantu otak manusia juga perlu sublimasi-sublimasi dari proses-hidup material manusia, yang bisa secara empiris ditetapkan dan yang terikat pada prakon-disi-prakondisi material.
Moralitas, agama, metafisika, dan ideologi-ideologi lain, dan bentuk-bentuk kesadaran mereka yang berkorespondensi, karena itu tidak lagi memelihara/memakai penampakan keberadaan otonom mereka. Mereka tidak memiliki sejarah, perkembangan; adalah manusia, yang, dalam mengembangkan produksi material mereka dan hubungan material mereka, merubah, sejalan dengannya, keberadaan nyata mereka, pemikiran mereka dan produk-produk pemikiran mere-ka. Kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran oleh kehidupan. Mereka yang mengambil metode pendekatan pertama memulai dengan kesadaran, menganggapnya sebagai individu yang hidup; mereka yang mengambil metode kedua, yang berkorespondensi dengan kehidupan nyata, memulai dengan individu-individu itu sendiri nyata yang hidup, dan menganggap kesadaran hanya sebagai kesadaran mereka," kata Marx.
Metode pendekatan ini, menurutnya, bukannya tanpa praangga-pan, tetapi ia memulai dengan praanggapan-praanggapan yang nyata dan tidak meninggalkannya untuk sementara waktu. Premisnya ialah manusia, tidak dalam kondisi pemenuhan atau stabilitas yang imajiner, tetapi dalam proses perkembangan aktual mereka yang bisa diamati secara empiris di bawah kondisi-kondisi tertentu. Segera setelah proses-hidup aktif ini dilukiskan, sejarah tidak lagi menjadi kumpulan fakta mati seperti sejarahnya kaum empirist (mereka sendiri tetap abstrak), atau aktivitas rekaan dari sub-yek-subyek rekaan, sebagaimana dengan kaum idealis.
"Di mana spekulasi berhenti -- dalam hidup nyata -- ilmu nyata, positif, representasi aktivitas praktis dan proses prak-tis perkembangan manusia, dimulai. Pembuatan-ungkapan tentang kesadaran berhenti, dan pengetahuan nyata harus menggantikan tempatnya. Ketika realitas digambarkan, filsafat sebagai aktivi-tas independen kehilangan medium keberadaannya. Paling banyak tempatnya hanya bisa diambil oleh ikhtisar hasil-hasil umum, yang berasal dari pengkajian tentang perkembbangan historis manusia. Dalam dirinya dan dipisahkan dari sejarah nyatan, abstraksi-abstraksi ini tidak memiliki nilai sama sekali. Mereka hanya bisa mendorong aransemen bahan-bahan sejarah, dan mengindikasikan urutan lapisan-lapisannya yang terpisah. Merka tidak memberikan, seperti filsafat, resep atau skema, dengan apa zaman-zaman sejarah bisa dibedakan dengan tepat. Sebaliknya, kesulitan-kesu-litan hanya muncul ketika kita memulai pengkajian dan aransemen bahan-bahan, dari zaman yang lalu maupun sekarang, dan represen-tasi kenyataan", tulis Marx dalam German Ideology.
Dalam Economic and Philosophical Manuscript, Marx melanjutkan bahwa aktivitas sosial dan benak sosial tidaklah ada hanya dalam bentuk aktivitas atau benak yang sosial secara manifest. Akan tetapi, aktivitas dan benak sosial, yakni aktivitas dan benak yang memperlihatkan diri sendiri lansung dalam asosiasi nyata dengan orang lain, terealisasi di mana-mana di mana ekspresi langsung sosiabilitas ini didasarkan pada sifat-dasar aktivitas atau berkorespondensi dengan sifat-dasar benak.
Menurut Marx, "Bahkan ketika saya melakukan kerja ilmiah, dsb.--suatu aktivitas yang jarang bisa saya lakukan dalam asosia-si langsung dengan orang lain -- saya melakukan tindakan, karena manusiawi, sosial. Ini bukan hanya karena material dari aktivitas saya-- seperti bahasa sendiri yang digunakan pemikir -- yang diberikan kepada saya sebagai produk sosial. Keberadaan saya sendiri adalah aktivitas sosial. Karena alasan ini, apa yang saya sendiri hasilkan, saya hasilkan untuk masyarakat dan dengan kesadaran bertindak sebagai makhluk sosial" (Marx, 1964:77).
Catatan akhir
Seperti yang kita ketahui, Marx menolak subyektivisme seperti yang dipegang oleh para empirisis. Jadi, tak ada "benda-pada-dirinya" (thing-in-itself) yang tidak diketahui muncul dalam pandangannya. Marx juga menolak pandangan Idealis Jerman bahwa yang nyata adalah suatu hasil pikiran--suatu dunia pikiran yang dari waktu ke waktu "menerima sentakan dari luar" (Kain, 1986;85). Marx menolak benda-pada-dirinya yang tak diketahui ini, atau impuls Fichtean seperti apa yang ditulisnya dalam "German Ideology".
Marx berpendapat bahwa kapitalisme yang menciptakan ilusi antara suatu yang tampak pada kita dan benda-pada-dirinya. Kecen-derungan fetishistis dari kapitalisme memperlihatkan untuk men-yerap alam secara total ke kategori sosial. Segalanya dilihat sebuah "alat produksi" atau "benda yang berguna". Obyek alam berhenti untuk mendapatkan sebuah pengesahan "untuk dirinya di luar lingkaran produksi dan pertukaran".
Fetihisme, bagi Marx, bermakna bahwa relasi antara orang menjadi tampak sebagai hubungan antar benda. Produser bebas meletakkan produk mereka di pasar, hukum pasar dipakai, dan mereka mulai menguasai individu-individu ini. Hubungan antara benda (produk) terlihat independen, otonom, dan alami. Konsep fetihisme ini bagi Marx menjadi suatu kategori epistemologis yang penting.
Daftar Pustaka
1. Kain, Philip J., 1986, Marx' Method, Epistemology, and Humanism, A Study in the Development of His Thought, D. Reidel [Publishing Company, Dordrecht, Holland]
2. Marx, Karl, 1964, [Selected Writings in Sociology and Social]
3. Philosophy, [foreword by Erich Fromm, T.B. Bottomore and Maxmillien Rubel (editor), McGraw-Hill, New York]
4. Marx,Karl and F. Engels, 1981, [On Religion, Progress, Publisher, Moscow]

By: anonimous (missing link)

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 01 Desember 2010

Tak selamanya utara di atas

semua orang memahami peta sebagai bentuk pencitraan muka bumi dalam bidang datar dan dalam hitungan skala untuk perbandingan dengan keadaan sebenarnya. peta pada dasarnya merupakan bentuk citra bumi yang keberadaannya membantu penjelasan manusia untuk memahami lokasi dan posisi di bumi, peta merupakan kesepakatan orang yang merasa terbantu oleh peta tersebut.  peta juga haruslah dilengkapi legenda untuk membantu "membaca" situasi yang digambarkan dalam peta. masalah letak mata angin, terdapat empat mata angin utama, yaitu Utara, Timur, Selatan dan Barat, posisi utara selalu berada diatas di dalam peta, dalam kompas juga arah utara selalu ditunjukkan berada diatas. dari kebiasaan tersebut membangun asumsi orang kebanyakan bahwa arah pusat yang dijadikan patokan adalah Utara. dalam peta yang biasa kita lihat, posisi bumi atau pencitraan bumi dalam posisi normal dengan utara berada diatas, eropa dan amerika bagian utara berada diatas, dan australia, afrika dan amerika latin berada di bawah lintang equator. nah jika anda temukan peta seperti ini apa yang kalian pikirkan?


peta demikian terasa sangat tidak lazim bagi orang awam.kenapa peta bisa sampai seperti ini, begini cerita dan sejarahnya bahwa utara berada diatas bukan sebuah keharusan.

*Bangsa Arab
Bangsa Arab adalah salah satu bangsa yang membuat peta. Kebiasaan orang arab terdahulu adalah tidur menghadap timur. Dan jika kita bangun dari tidur dan menghadap matahari terbit, selatan berada di sebelah kanan. Dari kebiasaan ini bangsa Arab menyebut negeri yang berada di sebelah selatannya dengan nama Yaman (dari kata “yamin” yang berarti “kanan”). Dari konotasi positif kata “kanan” ini orang Arab membuat peta dengan selatan di bagian atas. Juga, dengan lautan luas di sebelah selatannya, maka di peta bagian atas negerinya akan kosong, sehingga mereka menjadi lebih suka begitu.
*Bangsa Mesir
Bangsa Mesir kuno yang membutuhkan peta untuk pengelolaan sumber daya alam utamanya, sungai Nil, juga menggunakan selatan sebagai orientasi peta. Mereka beranggapan “atas” itu adalah selatan, karena dari arah selatan mengalir sungai Nil “ke bawah” ke arah utara (Hulu ke Hilir)
*Bangsa China
China, bangsa yang pertama kali menemukan kompas, sebelum kedatangan bangsa Eropa menggunakan selatan sebagai bagian atas peta yang mereka buat, karena mereka anggap jarum pada kompas menghadap ke selatan. Selain itu juga selatan merupakan arah yang suci (keramat) bagi mereka. Idrisi dalam peta dunia pesanan raja Sisilia yang dibuatnya juga menempatkan selatan di bagian atas peta buatannya, walau dalam penggambarannya selanjutnya diubah menjadi utara di bagian atas.

Lalu, sejak kapan utara ada di atas ???
Bangsa - bangsa Eropa mempelajari banyak hal dari Bangsa Arab dan mematahkan doktrin doktrin Yunani tentang perbintangan, bumi itu datar, dan lain lain. Bangsa Eropa zaman dahulu juga belajar pemetaan dari bangsa Arab.

Mereka pun membuat peta tersendiri dengan UTARA diatas (karena Eropa adalah negara yang berada di Utara, sehingga tentu saja dia ingin negaranya digambar di paling atas), dan kebiasaan itu terbawa sampai ketika mereka mengadakan ekspedisi ke timur jauh, amerika, dan sampai Indonesia.

Memang sangat unik jita peta dunia dibalik arahnya. Dan menurut Francis Irving, dalam situsnya mengatakan dengan selatan menjadi bagian atas, Indonesia merupakan tempat yang paling menarik jika dilihat dari orbit. Bahkan jika dibalik seperti itu, INDONESIA dan AUSTRALIA menjadi PUSAT DUNIA (tepat di tengah).
Peta lainnya seperti peta australia 'kebalik' bahkan laris terjual dan menjadi souvenir souvenir untuk para wisatawan.

Kesimpulannya?
bahwa utara tak selamanya berada diatas, dibeberapa tempat semisal Australia lebih senang menggunakan peta terbalik. jadi silahkan memilih gambar peta seperti apa yang kalian mau, tapi bagi sebagian orang, lebih baik jika utara diposisikan di bawah peta biar lebih adil saja dan menghapus kesan bahwa utara (eropa dsb) lebih mendominasi dibanding negara-negara yang berada di bawah lintang equator.


[dikutip dari berbagai sumber]

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 28 November 2010

Konsolidasi Nusantara Dalam Konteks Integrasi Kawasan: Konsensus Demokratik, Nasionalisme Ekonomi, Dan Persatuan Rakyat Part 3

Oleh; Ibe Wanuata


Indonesia: Negara Setengah Jadi

Sudah bukan rahasia, jika sebagian besar mekanisme politik dan logika sosial-ekonomi yang dijalankan di negara-negara pasca-kolonial, adalah gerak lanjut dari pola negara kolonial. Indonesia termasuk mempraktekkan ’cara kerja’ ini, meski tidak pernah secara resmi diakui oleh pemerintah. Tentu argumen ini akan berat diterima oleh mereka yang masih sangat konservatif melihat anatomi negara berjalan. Belum lagi jika bertemu dengan kaum ultra-nasionalis yang sering melihat negara bisa berjalan terpisah dengan konstelasi internasional.
Dalam kamus teoritik, perdebatan antara penganut teori dependensia dan otonomi relatif masih berlangsung. Penganut dependensia melihat dalam struktur kapitalisme global, negara-negara pasca-kolonial adalah sub-ordinasi langsung dari negara-negara adikuasa. Mereka sangat tergantung atas hutang luar negeri dan investasi asing langsung. Negara dalam relasinya dengan borjuasi lokal atau dinasti oligarkhis, lewat berbagai instrumen teknis mampu mengelola berbagai macam konflik kepentingan yang ada. Tetapi satu sisi, negara dengan segala perangkat mekanisnya adalah produk dari borjuasi imperialis di metropolis(Vedi R. Hadiz 1999).
Argumen dependensia disanggah oleh teori otonomi relatif negara yang mengakui adanya kompetisi antara kelompok-kelompok dominan dengan kepentingan supra-nasional, namun tak ada satupun mampu secara absolut mengendalikan negara. Dominasi satu kepentingan tidak akan bertahan lama, sehingga yang terjadi hanyalah suatu pembagian ruang kuasa politik-ekonomi secara berimbang.

Meskipun pada titik tertentu, dimana kelas-kelas berkuasa dalam negeri terlibat ’perang politik’, negara lalu memberi ruang besar bagi kuasa modal internasional. Terakhir, aliran produksionis memberi catatan kritis atas teori otonomi relatif. Meski memiliki ruang negosiatif, tetapi negara tidak bisa seenak hati melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan dasar dari borjuasi internasional dan negara-negara dominan dalam konteks sistem dunia.
Kita tentu tidak ingin secara terburu meski sama-sama negara dunia ketiga dan pasca kolonial, mempersamakan antara Indonesia dengan Bangladesh, Pakistan, Kenya, atau Tanzania. Agar tidak jatuh dalam konklusi sepihak dari asumsi teoritis yang menjadi panduan analisa disejumlah negara, maka kita perlu untuk melihat bagaimana proses negara ini berkembang sejak awal sebelum bentuk negara modern di didirikan. Sebab tentu saja seperti dinegeri lain, Indonesia memiliki sifat khas tersendiri dalam konteks dinamika internal sebagai bangsa dan reproduksi politik-ekonomi hasil dari kontradiksi atau konflik dengan mekanisme-mekanisme global yang berkuasa selama ratusan tahun.
Negara ini memiliki dua garis utama perkembangan sejarah masyarakat. Namun ketika negara modern terbentuk, keduanya lalu terintegrasi dan mengalami hubungan pasang-surut bahkan sekali waktu menjadi titik konflik yang menyita energi masyarakat. Pertama, komunitas, kelompok, suku bangsa yang sejak awal hanya mengenal tata sosial-ekonomi hingga terintegrasi menjadi Indonesia. Kedua, suku bangsa yang mengalami transformasi bentuk dari suku-suku konfederatif menjadi kerajaan dan kesultanan. Relatif masyarakatnya masih memiliki memori tentang kepemimpinan struktural, sehingga lebih mudah beradaptasi atas pola ketatanegaraan modern hari ini.
Tentu tidak cukup hanya dengan mengukur sepihak proses ini. Kita perlu melihat bagaimana postur negara kolonial yang dibangun dan dikelola oleh imperialis-kolonialis Eropa, khususnya oleh Belanda. Meski di Eropa spirit Revolusi Perancis mengakibatkan banyak gelombang penghancuran otoritas tunggal monarki absolut menjadi bentuk pemerintahan parlementer, namun saat negeri-negeri Eropa masuk ke Indonesia mekanisme kompromistis lebih banyak diterapkan. Kompetisi sesama negara eropa(Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol) mendorong sikap maksimum yang diharapkan dari raja-raja atau penguasa lokal, hanyalah loyalitas mereka terhadap monopoli dagang atas komoditas favorit pasar Eropa.
Tidak semua kerajaan/wilayah menjadi target. Setidaknya ada tiga pertimbangan yang digunakan: (1)Daerah kaya hasil-hasil bumi, (2)kerajaan dengan pelabuhan dan armada martim yang besar, dan (3)negeri-negeri resisten atas politik kolonial. Karena itu cukup banyak wilayah sosial yang tidak terjangkau dan berjalan sesuai mekanisme lokal semata. Belanda-Portugis lebih banyak memosisikan penguasa lokal sebagai bagian dari aliansi strategis saling menguntungkan. Bahkan membagi wilayah dan otoritas kekuasaan menjadi mungkin demi terjaganya otoritas kolonial secara nasional di Nusantara.
Sebagian besar perlawanan atas kolonial Belanda jika ditelisik lebih dalam sesungguhnya adalah konflik warisan/turunan dari perang kekuasaan ditingkat lokal yang berubah bentuk. Perlawanan dengan tingkat kesadaran nasional dan global jumlahnya sangat sedikit. Perang adalah pertemuan antara gerak ekspansif hasil kompetisi antar negeri Eropa bertemu dengan akumulasi konflik politik ditingkat raja-raja lokal dan penguasa kawasan. Koalisi terbatas hingga aliansi strategis dengan Belanda atau Inggris, menjadi pilihan logis demi memenangkan sebuah kekuasaan lokal/kawasan.
Setelah mengalami perang teritorial selama 200 tahun(1609-1809), Belanda relatif telah mengendalikan situasi nasional. Maka dimulailah satu konsolidasi ekonomi yang lebih sistematis. Dimasa H.W. Daendels(1808-1811), pendisiplinan atas hak-hak istimewa para penguasa lokal diterapkan dengan tegas. Prinsip-prinsip politik liberal juga diterapkan oleh Thomas Stamford Raffles(1811-1816). Kekuasaan raja/bupati feodal menjadi hambatan utama. Pada saat VOC bubar akibat biaya perang Jawa dan Korupsi ekstrim dijajaran elitnya, maka pilihan menerapkan proyek sistem tanam paksa(culturstelsei) diterapkan pada 1830-1870. Cara ini diharapkan cukup efektif.
Mengikuti perkembangan situasi Eropa, kemenangan partai liberal dan sosialis di Parlemen Belanda, dan kecenderungan Kapitalisme industrial yang meningkat, akhirnya kebijakan pintu terbuka atau politik swastanisasi dijalankan. Korporasi-korporasi swasta diberikan akses dan kemudahan dalam banyak hal. Birokrasi lokal yang bersandar pada sistem feodal dimutasi melalui proyek sekolah politik etis. Secara genealogis, keturunan bangsawan tetap prioritas utama, tapi disisi lain proses yang dibangun disesuaikan dengan logika kaum terdidik pesanan pasar dan korporasi global. Hukum agraria dibuat untuk menjamin kepemilikan tanah/lahan, Undang-Undang Kewarganegaraan dijalankan dengan ketat agar struktur sosial stabil, birokrasi modern dibentuk untuk membantu mempermudah pemerintahan kolonial dan korporasi asing. Bahkan, Javasche Bank didirikan untuk menyangga kebutuhan permodalan jika fluktuasi harga dipasar global mengancam.
Tahap tertinggi nusantara sebelum datangnya kolonial adalah model federasi atau konfederasi negara. Mereka membentuk sebuah aliansi strategis baik untuk kepentingan ekspansif pun sekadar sebagai cara bertahan(defensif) atas bahaya dari negeri lain. Kapitalisme yang dikembangkan diawal adalah kapitalisme kolonial(colonial capitalism) dan corak negara bukanlah kolonial penuh tapi lebih tepat disebut semi-kolonial. Karena itu menjadi logis, ketika praktek kolaborasi antara kaum kolonial dengan feodal tetap terpelihara. Belanda tidak sedang membangun sistem yang ”sangat persis” dengan realitas politik-ekonomi di Eropa. Kepentingan paling pokok mereka hanyalah bagaimana mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari kekayaan nusantara/Hindia Belanda.
Situasi ini terus berlangsung hingga ’anak-anak haram politik etis’ berhasil mengelola situasi penindasan dalam negeri dengan kecenderungan global yang makin terfragmentasi oleh arus perang rebutan wilayah antara blok-blok utama dunia. Memanfaatkan arus global yang telah menyiapkan landasan bagi lahirnya negara-negara baru di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, persiapan menuju Indonesia merdeka makin bulat. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah satu akumulasi dari seluruh aspek nasional dan global. Namun tidaklah benar jika beranggapan negara baru bernama Indonesia berdiri diatas fondasi spirit proklamasi. Sebab setelah itu, paket-paket perjanjian telah meng-aborsi hampir seluruh batas-batas kedaulatan politik-ekonomi-wilayah Indonesia.
Jebakan yang tertuang dalam perjanjian Giyanti dan Bungaya, terulang lagi dalam klausul Linggarjati, Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar(KMB). Sebagian dari konflik-konflik yang mendera indonesia periode 1950-1960 antara jakarta dengan daerah, adalah buah dari patahnya kesepahaman atas arah negara baru. Kita tidak bisa hanya mereduksi apa yang dilakukan oleh PRRI, DI-TII, dan Permesta, semata pemberontakan bersifat separatis dan provokasi dari kekuatan global. Bukankah politik reorganisasi-rasionalisasi(RERA) angkatan darat yang telah membuat perang horisontal antara TNI dan laskar rakyat adalah proposal politik militer dari negara-negara adikuasa?. Negara kita adalah negara yang disandera sejak awal dan hidup dalam jebakan mekanisme pasca-kolonial blok-blok utama dunia.

[+/-] Selengkapnya...

BHP = PRIVATISASI, (Instrument globalisasi)

“SEBUAH KETAKUTAN YANG BERALASAN”


Oleh: buminaraka*
Sitou Timou Tumou Tou (Sam Ratulangie)
Tabea……!
Mungkin agak aneh melihat kekhawatiran dari gejolak protes yang begitu massif dari teman-teman mahasiswa di nusantara menanggapi kebijakan (ke-tidakbijak-an) legislatif yang ‘berhasil’ menetapkan UU BHP (badan Hukum Pendidikan). yang lebih aneh lagi, sikap protes tersebut menjadi lelucon bagi kita (mahasiswa unima). penulis beranggapan mungkin dikarenakan ‘kita’ belum begitu akrab dengan ‘teman’ baru kita yang bernama BHP (tak kenal maka tak sayang). Nah sebelum BHP memperkenalkan diri, penulis tanpa permisi coba untuk memperkenalkan BHP sejauh yang bisa untuk diperkenalkan, nantinya biar kita sama-sama menilai apakah ‘dia’ (BHP. red) baik untuk disayangi atau tidak. tulisan ini menjadi begitu ringan dan sederhana agar tidak ada kepanikan dari ketakutan akan BHP.
Ketakutan akan ter-BHP-nya perguruan tinggi perlu dilandasi dengan pemahaan yang kompleks. Sekarang, ketakutan dengan BHP akan beralasan bukan sebagai ketakutan melainkan bencana. Ingat..!! Pemberlakuan BHP tidak hanya berkutat diwilayah perguruan tinggi saja melainkan itu berimplikasi di semua sektor pendidikan sampai di tingkatan Sekolah dasar (SD). Rencana pemerintah mem-BHP-kan seluruh sistem pendidikan nasional telah menjadi agenda sejak jauh hari, pada masa Habibie dirumuskan regulasi yang mungkin kita tidak kenal bernama PP 61/1999 yang mencoba mengatur status perguruan tinggi menjadi badan hukum. setelah ditetapkan pada tanggal 24 juni 1999 menjadi populer dengan sebutan BHMN (BADAN HUKUM MILIK NEGARA) regulasi ini berisi semua mekanisme operasional dari badan hukum BHMN juga berkaitan erat dengan program pencabutan subsidi pemerintah di sektor pendidikan. untuk pengalokasian 20% dari APBN bagi pendidikan hanyalah pasal kosong tanpa kekuatan hukum. Amanat dalam BMHN tersebut menjadi warisan buat presiden berikut. Megawati kemudian beraksi dengan produk hukum dengan nama UU No 20 Tahun 2003 atau SISDIKNAS (sistem pendidikan nasional). Konsekuensi prsedural dari regulasi sebelumnyalah yang menjadi cikal bakal perumusan BHP. Semua tahu kalau pemerintahan kita adalah pemerintah yang menghabiskan energinya di tataran pembahasan doang. Pemerintah sendiri diamanatkan untuk mengalokasikan 20% dari APBN untuk biaya pendidikan ini perlu di ingat.
Berikut implikasi dari BHP
Politisasi anggaran pendidikan
Dalam pasal 22, ayat 2 berbunyi : aset BHP dapat berasal dari modal penyelenggara, utang pada pihak lain, sumbangan atau bantuan dari pihak lain, dan hasil usaha BHP, yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. rumusan ini berarti penegasan atas otonomisasi anggaran pendidikan yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan yang bersatus BHP. Implikasinya mendorong lembaga pendidikan formal (bukan hanya Perguruan Tinggi) menggali sumber pendanaannya secara maksimal sekalipun itu dengan mekanisme ber-utang. Sejauh ini transparansi.

anggaran atau publikasi yang masih menggunakan asas subsidi dari pemerintah bahkan tidak dimengerti mahasiswa mengenai penggunaan anggaran. Tidak hanya sekedar mengenyam pendidikan akan tetapi perlu juga pemahaman atas lingkungan pendidikan tempatnya, atau mungkin ini terlalu berlebihan jika berhak untuk tahu akan hal tersebut ….???? Terlebih dengan anggaran yang lebih massif lagi jikalau pemberlakuan BHP untuk universitas tersebut. Tidak ada lembaga/ institusi yang bersih dari pengelapan anggaran bahkan KPK sekalipun.
Kalau lembaga pendidikan bisa berlaku demikian penulis berpikir dengan apa harus membayar utang tersebut? Pendidikan tinggi saat ini memiliki sumber pendanaan riil dari biaya yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa (SPP Dll.) selain subsidi hal ini juga memungkinkan mahasiswa menjadi “komoditi”. Ini membuktikan ketakutan kita akan meningkatnya biaya studi menjadi lebih beralasan. mungkin ketakutan ini bisa terbantahkan apabila taraf perekonomian masyarakat bawah ‘bisa’ ditingkatkan, meybe….! Mengenyam pendidikan tinggi sama susahnya ingin menjadi Presiden.
high level conspirasi
Pertanyaan yang timbul dari ditelurkannya BHP ini yaitu ada apa dibalik semua ini? Seperti pada ulasan sebelumnya, pemerintah sudah menggodok embrio BHP sejak jauh hari dikarenakan desakan (pressure) dari the unholy trinity (IMF, Bank Dunia, WTO) tahun 1995 mengenai penerapan program penyesuaian struktural (structural Adjusment Program/SAP) dengan point pemangkasan semua bentuk subsidi sektor publik termasuk pendidikan. Kemudian berlanjut pada perumusan 12 sektor jasa yang masuk dalam program liberalisasi yang dirumuskan dalam agenda rapat WTO Mei 2005. Dalam rumusan 12 sektor jasa tersebut, pendidikan menjadi dominan untuk di-liberalisasi-kan dengan anggapan di negara-negara maju (amerika, uni eropa, australia) pendidikan mampu menghasilkan devisa berlipat-ganda dibandingkan dengan sektor jasa yang lain bahkan sektor industri sekalipun. Keberhasilan tersebut dipicu dari program intervensi negara maju pada sektor pendidikan negara-negara berkembang lewat penerapan empat mode penyediaan jasa berbasis e-learning atau relationship pada perguruan tinggi atau lembaga pendidikan negara berkembang. Di indonesia sendiri mode tersebut di tindaklanjuti dengan regulasi BHP. Regulasi ini niat dasarnya agar lebih memudahkan proses intervesi tersebut. Dengan alih-alih meningkatkan kemampuan serta mutu pendidikan nasional dengan perangkat BHP justru berbanding terbalik, alasannya standarisasi-akreditasi mutu pendidikan nasional agar setara dengan negara maju. Pembuktian dari pola-pola tersebut dapat dilihat dari program-program kuliah jarak jauh yang diselenggarakan antara institusi pendidikan luar negeri dan dalam negeri, penggunaan staf pengajar luar negeri, pembukaan kelas-kelas reguler berbasis sistem pendidikan internasional dll. Justru menuntut pembiayaan mahal. Lantas, siapa yang mengenyam program-program pendidikan tersebut? Kesemua program pendidikan tersebut diistimewakan bagi mahasiswa atau siswa dengan kapasitas ekonomi lebih bukan kapasitas pengetahuan lebih…!!! Itu mungkin anda..
Hal ini masih berlanjut, tuntutan negara maju (Amerika, uni eropa dll) agar indonesia memajukan pendidikan sektor pendidikan atau memajukan standarisasi-akreditasi mutu pendidikan yang skalanya masih berkutat di level regional (asia tenggara) untuk lebih maju ke skala internasional. Jikalau hal ini dipaksakan via BHP dikhawatirkan elemen yang menjadi imbas adalah tenaga pengajar/guru lokal. Program sertifikasi tenaga pengajar yang digunakan untuk meng-upgrade kamampuan tenaga pendidik/guru justru menjadi momok menakutkan. Bagaimana tidak, sistem pengajaran yang dianut tenaga pendidik/guru lokal coba di revisi atau di evalusi dengan instrumen pengajaran baru yang lebih modern lewat pelaporan atau perumusan sistematika pembelajaran yang tidak dipahami sebelumnya. Pemberlakuan BHP pada semua sektor pendidikan justru membuka kesenjangan atau peluang masyarakat untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan lebih layak. Bukan hanya sekedar mahasiswa, siswa atau guru yang menjadi imbas dari pemberlakuan BHP masyarakat pun demikian. Pembiayaan biaya pendidikan yang mahal tidak memungkinkan untuk menggapai hal tersebut. Sebagai contoh, UI (universitas Indonesia) tidak mengoleksi mahasiswa yang taraf penghasilan ekonomi orang tuanya di bawah 1 juta/bulan, terkecuali Beasiswa. kelas-kelas internasional yang dibuka sekolah negeri hanya diisi oleh siswa yang mampu membayar SPP di atas Rp 500.000/semester bukan siswa yang mendapat peringkat 1-5 dalam kelas-kelas konvensional. Dapat disimpulkan motif dominan dari pemberlakuan regulasi BHP murni menyangkut Profit (laba) dengan produk jualannya adalah institusi pendidikan plus peserta didiknya. Lembaga pendidikan ditutut meningkatkan mutu pendididkan yang ditempuh dengan pembiayaan yang mahal, penyelenggaraan pendidikan yang sederhana ini saja mampu atau tidak mampu sudah cukup memberatkan apalagi di limpahkan kepada institusi luar negeri atau sumber pendanaan lain lewat mekainisme berutang, jadi bingung harus bayar pakai apalagi…?? Penerapan intitusi pendidikan menjadi badah hukum agar pemerintah dapat bermitra dengan institusi luar negeri dalam pembiayaan yang mencapai 20% dari pos APBN, saat ini pemerintah cukup mampu mengalokasikan kurang lebih 8-9 % biaya pendidikan, sisanya dialihkan. Pemerintah memposisikan diri sebagia pemilik dari badan hukum tersebut sedangkan pengoperasian institusi pendidikan dalam hal pembiayaan menjadi tanggung jawab institusi yang sudah ter-BHP.
Jadi yang perlu di simpan dalam memori ingatan pembaca adalah pemberlakuan BHP tidak hanya untuk universitas akan tetapi menggurita sampai pada level pendidikan paling bawah sekalipun (SD). Institusi pendidikan yang ter-BHP menuntu biaya lebih (high cost) dalam prosesnya yang memingkinkan meningkatnya beban studi dan semua implikasi yang ada di benak pembaca itu mungkin terjadi. Lantas untuk siapa pendidikan itu..???. kesemua ini bukanlah sebuah kepanikan. Bagi penulis tidak ada alasan untuk tidak takut..!!
Menunggu adalah dosa besar dalam perubahan (Resorgimento)

Pengumuman:
TIDAK ADA SEKOLAH MURAH

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 26 November 2010

Konsolidasi Nusantara Dalam Konteks Integrasi Kawasan: Konsensus Demokratik, Nasionalisme Ekonomi, Dan Persatuan Rakyat. part 2

Oleh: Ibe Wanuata

Mundur Satu Langkah: Akhir Dari Pax Americana?


Sejak lama mimpi membangun satu bentuk one world government menjadi cita-cita sejumlah negara dan korporasi swasta raksasa. Mereka meng-idam-kan satu situasi dimana seluruh kontrol kehidupan dunia berawal dan berakhir dari tangan mereka. Dulu kita kenal, PAX Romana, Pax Nederlandica, Pax Brittanica, yang secara sederhana berarti, niat membangun Inggris Raya atau Belanda Raya diseluruh dunia.
Keinginan seperti ini tidak pernah mati, dan selalu menjadi obsesi dari para pemimpin negara-negara industri. Namun setidaknya, defenisi operasional yang dijalankan telah bergeser. Indikator geo-ekonomi mulai diminati. Malah ditingkat berikutnya, seluruh lini/sektor(film, kebudayaan, teknologi, pendidikan) ditempatkan sebagai sesuatu bersifat strategis.
Presiden Barrack Obama yang baru saja dilantik, adalah simbol harapan tertinggi Amerika Serikat. Demam Obamania ditularkan keberbagai dunia, seolah harapan AS adalah harapan masyarakat seluruh dunia. Cara ini cukup ampuh merebut perhatian dan melupakan sejenak keprihatinan rakyat ditiap negara. Inilah bukti pencapaian tertinggi dari mesin-mesin citra dan jaringan virtual-hegemonik yang dikembangkan oleh Amerika Serikat selama 10 tahun terakhir. Obama seolah menjadi ”presiden seluruh dunia.” Tak mau ketinggalan Indonesia pun ’mengaitkan diri’ dengan Obama. Pernah tinggal dan sekolah di Jakarta jadi modal untuk membuka ruang negosiasi dalam banyak kepentingan.

Sebuah kekeliruan tafsir telah mendera banyak analis politik global. Mereka dengan bangga menunjukkan sisi kepedulian AS yang meningkat atas situasi dunia saat Barrack Obama terpilih. Ini bisa mereduksi seolah gerak determinan masih mengalir satu arah: Dari AS keseluruh dunia. Berubahnya peta politik luar negeri yang dijalankan oleh kabinet Obama, tentu saja buah dari resistensi berbagai negara dan makin kompleksnya realitas politik global. Dan sekali lagi, bukanlah bersandar pada ”kebaikan hati” seorang Obama semata, atau departemen luar negeri, apalagi Pentagon.
Sejak Komodor Perry melanggar doktrin Monroe dengan memaksa Jepang membuka isolasi, AS terus menerus terlibat dalam urusan dalam negeri bangsa-bangsa sedunia. Berperang dengan Spanyol memperebutkan Filiphina tahun 1898 hingga invasi ke Afghanistan dan Irak 2002-2003, telah menyematkan ”label abadi” bahwa pemerintah AS mengidap penyakit haus perang. Entah karena motif berebut pengaruh dan ruang geografis strategis secara militer, perang menimbun Migas melawan China-Rusia, atau sekadar untuk menggerakkan pertumbuhan industri nasional menjangkau pasar baru.
Penentangan keras Hugo chavez di Amerika Latin, Ahmadinejad di Timur Tengah, Moammar Khadafi di Afrika, China-Korea Utara-Vietnam di Asia Timur-Tenggara, dan tentu saja Vladimir Putin di Eropa Timur-Asia Tengah, adalah perlambang ’real-politics’ tentang peta geopolitik dunia yang telah berubah. Amerika Serikat mulai menyadari, betapa tidak mungkin lagi menganggap diri sebagai satu-satunya ”polisi dunia” dan memaksakan kehendak sesuka hati. Isu perang melawan terorisme tidak akan bertahan lama meski terus direproduksi. Meski selintas aktifitas di Irak dan Afghanistan meningkat, namun sejatinya AS saat ini sedang mengalami pukulan balik yang membuat mereka terkonsentrasi ke berbai persoalan pelik dalam negeri.
Jika saat Pemilu lalu yang terpilih sebagai presiden AS adalah Jhon Mc Cain, maka ancaman disintegrasi nasional akan benar-benar nyata. Pemilu berlangsung tepat saat AS mengalami krisis finansial serius. Semua orang mengingat peristiwa malaise tahun 1925-1935 yang berhasil membuat depresi ekonomi ekstrim di AS. Obama berhasil hadir sekadar untuk ’me-mutasi’ fokus warga negara dari krisis materil atas fundamental ekonomi, menjadi sebuah kebanggaan atas menangnya harapan mayoritas rakyat AS dalam Pemilu. Tentu saja situasi ini tidak akan bertahan lama. Fluktuasi ekonomi dan trans-lokasi deposit perbankan besar-besaran ke Eropa yang memicu aksi pindah nilai tukar dari Dollar ke EURO, agaknya mulai sukar untuk dicegah.
Saat krisis dan depresi ekonomi melanda, AS selalu mengalami gejolak sosial yang serius. AS adalah negara dengan tumpuan utama pada dua hal: stabilitas politik luar negeri dan survivalitas ekonomi nasional. Di level struktur sosial, mereka sangat rapuh bahkan sudah sampai pada titik defisit. Jika ditelisik, modal sosial AS tidak lagi memiliki konfigurasi dan model relasi bersifat kohesif. Setiap supra-struktur politik dan ekonomi nasional mengalami goncangan, ledakan massa dalam bentuk konflik klasik akan muncul. Isu Rasisme dan kebencian bermotif agama, tidak pernah mati. Jumlah sekte dan aliran keagamaan yang telah mencapai ratusan, bergerak makin menjauhi spirit kolektivisme sebagai satu bangsa.
Situasi ini mudah ditebak. Hasrat ofensif dalam politik luar negeri perlu dikelola lebih moderat, dan mengurangi intensitas konflik yang bisa berujung pada perang. Tidak heran setelah dilantik, Hillary Clinton, menteri luar negeri AS yang baru, menegaskan perubahan orientasi kearah hubungan dialogis. Sejumlah utusan khusus dikirim ke negara-negara yang bersitegang selama ini dengan AS(Iran, Korea Utara, China, Rusia). Mereka membatasi diri fokus pada penyelesaian proyek perang di Afghanistan dan Irak. Aliansi permanen dengan Uni Eropa coba dikuatkan. Negara-negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Australia, Indonesia, Thailand, Meksiko, Georgia, Afrika Selatan, dirangkul untuk menjaga eksistensi agenda strategis dikawasan mereka.
Mimpi untuk membangun Pax Americana(Amerika Raya) entah secara fisik atau dengan pola hegemonik, sudah permanen. Tapi agaknya, keinginan itu harus disimpan dulu. AS sedang menghitung, melepas sebagian superioritasnya tapi tetap mempertahankan otoritas utama dalam beberapa hal. Isu-isu komunalisme seperti fundamentalisme dan rasisme bagian dari proyek pengelolaan loyalitas warga bangsa Amerika Serikat. Jika siklus kapitalisme-neoliberal mengalami krisis, maka tema-tema komunalisme adalah senjata bertahan yang tepat. Cita-cita Amerika Raya tidak pernah mati. AS faham dunia sedang tidak berkehendak pada mereka. Lalu bagaimana dengan Indonesia?


to be continued..... (Indonesia: Negara Setengah Jadi)

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 25 November 2010

Konsolidasi Nusantara Dalam Konteks Integrasi Kawasan: Konsensus Demokratik, Nasionalisme Ekonomi, Dan Persatuan Rakyat. part 1

Oleh: Ibe Wanuata


Anggitan Pemikiran
Jelang 10 Tahun Reformasi, Indonesia melakoni cukup banyak ritus politik, ekonomi, sosial. Meski agenda yang dijalankan terlihat beragam, namun semua hanyalah “tabir asap” dari realitas sebaliknya. Terlalu banyak angka-angka manipulatif, dan tebaran jala citra ’over-estimasi’ atas pertumbuhan ekonomi tiap tahun. Hal paling menggelikan adalah kesan pemerintah memaksakan kesimpulan jika angka kemiskinan secara nasional menurun. Cara ini berlebihan, sebab apapun argumentasi yang diajukan, dimana-mana kita menyaksikan ribuan buruh di PHK, ribuan PKL dikota-kota utama Indonesia digusur, dan aksi jual murah hasil pertanian oleh kaum tani terus berlangsung tanpa perlindungan dari negara.
Meski diakhir tahun kemarin, pemerintahan SBY-JK membuat aksi turunkan harga BBM, tidak berpengaruh sedikitpun. Sebab angka kemiskinan justru meningkat makin ekstrim. Sejak kenaikan harga BBM pada 24 Mei 2008, penduduk miskin terus bertambah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) menyatakan kenaikan harga BBM 30 persen menaikkan jumlah rakyat miskin sebanyak 4,5 juta dari 37,2 pada maret 2007 menjadi 41,7 juta jiwa pada 2008. Situasi ini tentu makin pelik, karena paceklik terjadi disejumlah tempat. Banyak lahan pertanian(khususnya sawah padi), terendam banjir dan membuat ribuan petani merugi.

ini hanyalah satu dari sekian kenyataan sosial-ekonomi rakyat Indonesia, yang 2 bulan lagi akan ikut dalam PEMILU nasional yang ketiga sejak Reformasi bergulir(1999-2004-2009). Kita butuh untuk melakukan satu refleksi utuh sebagai bentuk ”tuma’ninah” atas gerak kontinuum bangsa dalam pusaran Dunia dan gerak internal Indonesia. Tanpa evaluasi menyeluruh, maka sikap terburu dan salah langkah akan memangsa balik Indonesia. Sungguh malang, tinggal di negeri yang penuh dengan kekayaan alam-melimpah, tapi mayoritas rakyat tidak pernah tidur tenang tiap malam. Pikiran mereka terus menerus dihantui oleh ancaman kesulitan ekonomi kronis.
Gerak lumpuh, tidak bisa dipisahkan dari corak pengetahuan apa yang dipakai untuk menafsir dan menghadapi keadaan. Cara baca kita menelisik seluruh bangun peristiwa sosial, ekonomi, politik di Indonesia sering terjebak oleh tafsir-tafsir ahistoris dan optik parsial yang menempatkan setiap kenyataan terpisah, tak terhubung. Sebuah kerja besar mengolah ragam cara pandang sudah harus dilakukan, untuk membantu menjelaskan dengan terang, gerak mundur dan stagnasi sejarah kebangsaan Indonesia dalam perputaran siklus sistem dunia paruh pertama abad 21 ini. Mari kita simak satu persatu.

Dunia Multipolar: Kebangkitan Regionalisme?
Pasca runtuhnya Uni Soviet dan Tembok Berlin, dunia tidak lagi dalam pusaran Bipolar. Amerika Serikat mengklaim telah memenangkan perang dingin(cold war), dan layak membuat dikte terhadap seluruh kenyataan negara-negara seantero dunia. Pagelaran kapal induk dan kecanggihan teknologi tempur di seluruh samudera/lautan utama tetap dilakukan. Niat untuk jadi satu-satunya negara super-power dalam corak unipolaritas sudah didepan mata. Asumsi ini ternyata keliru, keruntuhan Uni Soviet justru memicu gelombang regionalisme baru dimana-mana. Dari Amerika Latin, Asia Timur, Eropa, hingga Benua Afrika.
Meski sering dianggap setali tiga uang, tapi Uni Eropa(UE) menegaskan diri sebagai satu blok kawasan yang memiliki logika gerak terpisah dari Amerika Serikat. Hutang budi atas pembangunan infrastruktur yang didanai oleh Marshall Plan, untuk mengembalikan wajah kota-kota utama Eropa pasca perang dunia II, tidak jadi penghalang untuk mengembangkan kepentingan UE bersinggungan dengan AS. Tentu saja dalam sejumlah isu strategis, AS dan UE susah untuk dipisahkan. Aliansi militer mereka dalam NATO tetap menjadi operasi gabungan yang solid diberbagai negara. Karena itu dibutuhkan kecerdasan mengelola hubungan dengan Uni Eropa.
Di Asia, China terus digaungkan sebagai poros dunia baru dan penentang utama politik internasional full spectrum dominance yang dimainkan AS. Bersama Rusia dan tiga negara Asia Tengah(Kyrgiztan, Tajikistan, dan Kazakhstan) mereka membuat blok tandingan: Shanghai Cooperation Organization(SCO). Meski neraca perdagangannya selalu unggul atas AS, tapi efek krisis finansial terakhir ikut melumpuhkan sebagian gerak ekonomi nasional China. Pengangguran dan krisis pangan terus membayangi. Sebagian ekonom melihat ini karena menurunnya kemampuan china mesinergikan pola ekonomi pasar dan ekonomi protektif didalam negeri.
Rusia lain lagi. Tindakan Rusia yang menempatkan Kapal Induk mereka diperairan Kuba-Venezuela, penolakan atas sarana Rudal anti-balistik AS di Eropa, blokade atas rencana serangan militer AS ke IRAN, dan penghentian suplai Gas beberapa hari ke sejumlah negara Eropa, adalah bukti garis ekstrim ”neo-KGB” mewarnai sikap-sikap nasional dan Internasional Rusia. Dipimpin duet Presiden Medyedev dan Perdana Menteri Vladimir Putin serta bantuan ribuan agen siloviki, Rusia penuh percaya diri kembali ke panggung percaturan politik global. Mongolia, Iran, Pakistan, dan India mulai menjajaki hubungan strategis dengan kedua negara diatas(RUSIA – China).
Tepat di benua Amerika, di jazirah Amerika Latin, trio Hugo Chavez-Fidel Castro-Evo Morales bangkit dengan spirit Revolusi Bolivarian. Mengusung konsep integrasi kawasan mengimbangi penetrasi Neoliberalisme AS dan menawarkan satu bentuk “neo-Sosialisme” atau “Nasionalisme-Radikal” untuk mengangkat kembali masyarakat mereka dari kubangan krisis ekonomi. Referendum nasional yang baru-baru ini digelar di Bolivia dan dimenangkan oleh Evo Morales, makin mengukuhkan resistensi rakyat Amerika Latin atas supremasi AS diwilayah ini. Meski sebagian negara masih ragu, namun arus pasang anti neoliberalisme makin tak terhindarkan.
Tetangga Amerika Latin, Afrika juga tak mau ketinggalan. Melalui kerja panjang, akhirnya Uni Afrika resmi menghadirkan diri sebagai kekuatan regional baru. Kepemimpinan kawasan ini dipercayakan pada Moammar Khadafi, pemimpin Libya. Mereka punya segudang masalah. Mulai dari meredam konflik nasional dalam sejumlah negara, krisis pangan esktrim, penyebaran virus HIV-AIDS, aksi perompak Somalia, hingga perdagangan senjata yang memicu perang fisik dimana-mana. Semangat sosialisme atau setidaknya model ekonomi pasar sosial terus diuji-coba sebagai jalan menghindari kepunahan bangsa Afrika.
Di benua ASIA, ketegangan berlangsung ditiga titik utama. Zona satu ada di timur tengah/asia barat. Agresi Israel atas Palestina yang hingga kini belum berhenti telah memicu kecenderungan konflik regional. Iran sejauh ini masih sangat berhati-hati menghadapi situasi. Selain bantuan makanan dan kesehatan, gerilyawan Hezbollah juga membantu perlawanan bersenjata HAMAS. Sebagian negara-negara petro-dollar jazirah Arab(Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait) bersikap mendua: prihatin atas nasib rakyat Palestina, tapi membiarkan Israel meng-isolasi jalur Gaza.
Zona kedua, berada diseputar Asia Tengah dan Asia Selatan. Isu Afghanistan tetap jadi fokus utama. Ribuan tentara gabungan AS dan NATO(Pakta pertahanan atlantik utara) terus mengalir dalam perang yang diklaim melawan Terorisme dan Al Qaedah. Siapapun faham, Afghanistan hanyalah sasaran antara dari satu rencana besar AS untuk membuat pangkalan militer dan ekonomi mengimbangi China dan Rusia. Sikap Kyrgiztan baru-baru ini yang memutuskan menutup area militer AS dinegara mereka, telah memicu ketegangan kawasan. Sikap ini adalah buah ”pembalasan” yang dilakukan oleh Rusia atas operasi politik CIA dalam tubuh pemerintah Georgia.
Di Asia Selatan, India dan Pakistan sudah sampai ketahap persiapan perang. Pemerintah India secara terbuka mengungkapkan keterlibatan Intelijen Pakistan dalam penyerangan Hotel Mumbai yang menewaskan ratusan orang. Pihak Pakistan masih terus berkelit, dan mengatakan peristiwa itu sebagai aksi terorisme murni, sebagai hal logis atas ketidakbecusan India menangani isu Kashmir. Tidak jauh dari India, pertempuran sengit terus berlangsung antara gerilyawan Macan Tamil dengan angkatan bersenjata nasional Srilanka. Ratusan warga sipil sepanjang tiga bulan terakhir tewas, dan ribuan memilih untuk mengungsi.
Zona ketiga adalah Asia Timur dan Asia Tenggara. Asia Timur secara umum dan asia tenggara secara khusus sejak mengalami krisis dan stagnasi ekonomi dipenghujung tahun 1997, belum stabil sepenuhnya. Nilai mata uang baht, milik Thailand, tanggal 2 juli tahun 1997 runtuh. Dengan sangat cepat efek berantai ke negara-negara tetangga ikut kelimpungan. Malaysia, Singapura, Filiphina, dan Indonesia, mengalami depresiasi nilai mata uang. Bahkan menimbulkan kepanikan yang berujung pada pelarian modal keluar negeri dalam jumlah massif. Ditangan mantan perdana menteri Thaksin shinawatra, Thailand kembali menormalisir nafas ekonomi, meski masih terus didera ancaman krisis yang akut.
Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, masih sering dicap sebagai frontline dari AS menghadapi Korea Utara dan China. Konflik teritorial antara Jepang dengan China selalu tak terhindarkan. Sebagian kelompok politik liberal dan nasionalis Jepang telah sering memperingatkan agar pemerintahan mereka menjaga jarak dengan Amerika Serikat. Mereka tidak ingin Jepang hanya dijadikan kartu permainan yang hanya akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan nasionalnya. Situasi rumit dan saling jepit selalu menghantui Jepang, korsel, korut, taiwan, dan China. Beruntung, konflik politik tidak mempengaruhi relasi dagang dan sosial antar mereka. Ikatan religi konfusian agaknya cukup membantu sebagai perekat sosial.
Ada dua komunitas regional yang tumbuh berkembang: ASEAN dan KTT Asia Timur. ASEAN tidak mengalami kemajuan apapun, bahkan beberapa problem internal antar negara atau intern negara tidak terfasilitasi dengan baik. Misalnya, ketegangan antara Myanmar dengan Thailand. Lalu otoritarianisme politik Junta Militer Myanmar atas Aung San Su Kyi. ASEAN juga kerepotan memberi masukan kepada keduanya, terkait posisi China dan AS dalam konflik ini. Itu belum termasuk ketegangan di Thailand Selatan dan Filiphina Selatan. Dua wilayah ini terus bergolak akibat pola resolusi konflik dan pentahapan konsensus nasional yang tidak tepat.
KTT Asia Timur tidak akan pernah terakumulasi menjadi arena bersama yang demokratis dan adil, sebab selalu tidak lepas dari pertarungan kepentingan. China berniat membawanya kegaris SCO, sedang Australia dan Jepang tentu ingin merangkul KTT Asia Timur masuk dalam rumus strategis yang digariskan oleh UKUSA(United Kingdom, United State, Australia). Regionalisme diwilayah ini tidak sekuat arus yang berlangsung di Amerika Latin atau Afrika. Wilayah Asia Timur dan Tenggara, justru mirip dengan Timur Tengah. Saling kunci antar dua negara bertetangga, bisa berlangsung hingga ketingkat fatal. Keadaan ini malah makin melemahkan negara-negara sekawasan.





to be continued...... (Mundur Satu Langkah: Akhir Dari Pax Americana?)

[+/-] Selengkapnya...