Powered By Blogger
terima kasih sudah berkunjung di blog ini, salam kenal dari saya. anda termasuk orang yang gemar mencari, terlepas dari popularitas dan perkenalan...!

Jumat, 26 November 2010

Konsolidasi Nusantara Dalam Konteks Integrasi Kawasan: Konsensus Demokratik, Nasionalisme Ekonomi, Dan Persatuan Rakyat. part 2

Oleh: Ibe Wanuata

Mundur Satu Langkah: Akhir Dari Pax Americana?


Sejak lama mimpi membangun satu bentuk one world government menjadi cita-cita sejumlah negara dan korporasi swasta raksasa. Mereka meng-idam-kan satu situasi dimana seluruh kontrol kehidupan dunia berawal dan berakhir dari tangan mereka. Dulu kita kenal, PAX Romana, Pax Nederlandica, Pax Brittanica, yang secara sederhana berarti, niat membangun Inggris Raya atau Belanda Raya diseluruh dunia.
Keinginan seperti ini tidak pernah mati, dan selalu menjadi obsesi dari para pemimpin negara-negara industri. Namun setidaknya, defenisi operasional yang dijalankan telah bergeser. Indikator geo-ekonomi mulai diminati. Malah ditingkat berikutnya, seluruh lini/sektor(film, kebudayaan, teknologi, pendidikan) ditempatkan sebagai sesuatu bersifat strategis.
Presiden Barrack Obama yang baru saja dilantik, adalah simbol harapan tertinggi Amerika Serikat. Demam Obamania ditularkan keberbagai dunia, seolah harapan AS adalah harapan masyarakat seluruh dunia. Cara ini cukup ampuh merebut perhatian dan melupakan sejenak keprihatinan rakyat ditiap negara. Inilah bukti pencapaian tertinggi dari mesin-mesin citra dan jaringan virtual-hegemonik yang dikembangkan oleh Amerika Serikat selama 10 tahun terakhir. Obama seolah menjadi ”presiden seluruh dunia.” Tak mau ketinggalan Indonesia pun ’mengaitkan diri’ dengan Obama. Pernah tinggal dan sekolah di Jakarta jadi modal untuk membuka ruang negosiasi dalam banyak kepentingan.

Sebuah kekeliruan tafsir telah mendera banyak analis politik global. Mereka dengan bangga menunjukkan sisi kepedulian AS yang meningkat atas situasi dunia saat Barrack Obama terpilih. Ini bisa mereduksi seolah gerak determinan masih mengalir satu arah: Dari AS keseluruh dunia. Berubahnya peta politik luar negeri yang dijalankan oleh kabinet Obama, tentu saja buah dari resistensi berbagai negara dan makin kompleksnya realitas politik global. Dan sekali lagi, bukanlah bersandar pada ”kebaikan hati” seorang Obama semata, atau departemen luar negeri, apalagi Pentagon.
Sejak Komodor Perry melanggar doktrin Monroe dengan memaksa Jepang membuka isolasi, AS terus menerus terlibat dalam urusan dalam negeri bangsa-bangsa sedunia. Berperang dengan Spanyol memperebutkan Filiphina tahun 1898 hingga invasi ke Afghanistan dan Irak 2002-2003, telah menyematkan ”label abadi” bahwa pemerintah AS mengidap penyakit haus perang. Entah karena motif berebut pengaruh dan ruang geografis strategis secara militer, perang menimbun Migas melawan China-Rusia, atau sekadar untuk menggerakkan pertumbuhan industri nasional menjangkau pasar baru.
Penentangan keras Hugo chavez di Amerika Latin, Ahmadinejad di Timur Tengah, Moammar Khadafi di Afrika, China-Korea Utara-Vietnam di Asia Timur-Tenggara, dan tentu saja Vladimir Putin di Eropa Timur-Asia Tengah, adalah perlambang ’real-politics’ tentang peta geopolitik dunia yang telah berubah. Amerika Serikat mulai menyadari, betapa tidak mungkin lagi menganggap diri sebagai satu-satunya ”polisi dunia” dan memaksakan kehendak sesuka hati. Isu perang melawan terorisme tidak akan bertahan lama meski terus direproduksi. Meski selintas aktifitas di Irak dan Afghanistan meningkat, namun sejatinya AS saat ini sedang mengalami pukulan balik yang membuat mereka terkonsentrasi ke berbai persoalan pelik dalam negeri.
Jika saat Pemilu lalu yang terpilih sebagai presiden AS adalah Jhon Mc Cain, maka ancaman disintegrasi nasional akan benar-benar nyata. Pemilu berlangsung tepat saat AS mengalami krisis finansial serius. Semua orang mengingat peristiwa malaise tahun 1925-1935 yang berhasil membuat depresi ekonomi ekstrim di AS. Obama berhasil hadir sekadar untuk ’me-mutasi’ fokus warga negara dari krisis materil atas fundamental ekonomi, menjadi sebuah kebanggaan atas menangnya harapan mayoritas rakyat AS dalam Pemilu. Tentu saja situasi ini tidak akan bertahan lama. Fluktuasi ekonomi dan trans-lokasi deposit perbankan besar-besaran ke Eropa yang memicu aksi pindah nilai tukar dari Dollar ke EURO, agaknya mulai sukar untuk dicegah.
Saat krisis dan depresi ekonomi melanda, AS selalu mengalami gejolak sosial yang serius. AS adalah negara dengan tumpuan utama pada dua hal: stabilitas politik luar negeri dan survivalitas ekonomi nasional. Di level struktur sosial, mereka sangat rapuh bahkan sudah sampai pada titik defisit. Jika ditelisik, modal sosial AS tidak lagi memiliki konfigurasi dan model relasi bersifat kohesif. Setiap supra-struktur politik dan ekonomi nasional mengalami goncangan, ledakan massa dalam bentuk konflik klasik akan muncul. Isu Rasisme dan kebencian bermotif agama, tidak pernah mati. Jumlah sekte dan aliran keagamaan yang telah mencapai ratusan, bergerak makin menjauhi spirit kolektivisme sebagai satu bangsa.
Situasi ini mudah ditebak. Hasrat ofensif dalam politik luar negeri perlu dikelola lebih moderat, dan mengurangi intensitas konflik yang bisa berujung pada perang. Tidak heran setelah dilantik, Hillary Clinton, menteri luar negeri AS yang baru, menegaskan perubahan orientasi kearah hubungan dialogis. Sejumlah utusan khusus dikirim ke negara-negara yang bersitegang selama ini dengan AS(Iran, Korea Utara, China, Rusia). Mereka membatasi diri fokus pada penyelesaian proyek perang di Afghanistan dan Irak. Aliansi permanen dengan Uni Eropa coba dikuatkan. Negara-negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Australia, Indonesia, Thailand, Meksiko, Georgia, Afrika Selatan, dirangkul untuk menjaga eksistensi agenda strategis dikawasan mereka.
Mimpi untuk membangun Pax Americana(Amerika Raya) entah secara fisik atau dengan pola hegemonik, sudah permanen. Tapi agaknya, keinginan itu harus disimpan dulu. AS sedang menghitung, melepas sebagian superioritasnya tapi tetap mempertahankan otoritas utama dalam beberapa hal. Isu-isu komunalisme seperti fundamentalisme dan rasisme bagian dari proyek pengelolaan loyalitas warga bangsa Amerika Serikat. Jika siklus kapitalisme-neoliberal mengalami krisis, maka tema-tema komunalisme adalah senjata bertahan yang tepat. Cita-cita Amerika Raya tidak pernah mati. AS faham dunia sedang tidak berkehendak pada mereka. Lalu bagaimana dengan Indonesia?


to be continued..... (Indonesia: Negara Setengah Jadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar