Powered By Blogger
terima kasih sudah berkunjung di blog ini, salam kenal dari saya. anda termasuk orang yang gemar mencari, terlepas dari popularitas dan perkenalan...!

Kamis, 25 November 2010

Konsolidasi Nusantara Dalam Konteks Integrasi Kawasan: Konsensus Demokratik, Nasionalisme Ekonomi, Dan Persatuan Rakyat. part 1

Oleh: Ibe Wanuata


Anggitan Pemikiran
Jelang 10 Tahun Reformasi, Indonesia melakoni cukup banyak ritus politik, ekonomi, sosial. Meski agenda yang dijalankan terlihat beragam, namun semua hanyalah “tabir asap” dari realitas sebaliknya. Terlalu banyak angka-angka manipulatif, dan tebaran jala citra ’over-estimasi’ atas pertumbuhan ekonomi tiap tahun. Hal paling menggelikan adalah kesan pemerintah memaksakan kesimpulan jika angka kemiskinan secara nasional menurun. Cara ini berlebihan, sebab apapun argumentasi yang diajukan, dimana-mana kita menyaksikan ribuan buruh di PHK, ribuan PKL dikota-kota utama Indonesia digusur, dan aksi jual murah hasil pertanian oleh kaum tani terus berlangsung tanpa perlindungan dari negara.
Meski diakhir tahun kemarin, pemerintahan SBY-JK membuat aksi turunkan harga BBM, tidak berpengaruh sedikitpun. Sebab angka kemiskinan justru meningkat makin ekstrim. Sejak kenaikan harga BBM pada 24 Mei 2008, penduduk miskin terus bertambah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) menyatakan kenaikan harga BBM 30 persen menaikkan jumlah rakyat miskin sebanyak 4,5 juta dari 37,2 pada maret 2007 menjadi 41,7 juta jiwa pada 2008. Situasi ini tentu makin pelik, karena paceklik terjadi disejumlah tempat. Banyak lahan pertanian(khususnya sawah padi), terendam banjir dan membuat ribuan petani merugi.

ini hanyalah satu dari sekian kenyataan sosial-ekonomi rakyat Indonesia, yang 2 bulan lagi akan ikut dalam PEMILU nasional yang ketiga sejak Reformasi bergulir(1999-2004-2009). Kita butuh untuk melakukan satu refleksi utuh sebagai bentuk ”tuma’ninah” atas gerak kontinuum bangsa dalam pusaran Dunia dan gerak internal Indonesia. Tanpa evaluasi menyeluruh, maka sikap terburu dan salah langkah akan memangsa balik Indonesia. Sungguh malang, tinggal di negeri yang penuh dengan kekayaan alam-melimpah, tapi mayoritas rakyat tidak pernah tidur tenang tiap malam. Pikiran mereka terus menerus dihantui oleh ancaman kesulitan ekonomi kronis.
Gerak lumpuh, tidak bisa dipisahkan dari corak pengetahuan apa yang dipakai untuk menafsir dan menghadapi keadaan. Cara baca kita menelisik seluruh bangun peristiwa sosial, ekonomi, politik di Indonesia sering terjebak oleh tafsir-tafsir ahistoris dan optik parsial yang menempatkan setiap kenyataan terpisah, tak terhubung. Sebuah kerja besar mengolah ragam cara pandang sudah harus dilakukan, untuk membantu menjelaskan dengan terang, gerak mundur dan stagnasi sejarah kebangsaan Indonesia dalam perputaran siklus sistem dunia paruh pertama abad 21 ini. Mari kita simak satu persatu.

Dunia Multipolar: Kebangkitan Regionalisme?
Pasca runtuhnya Uni Soviet dan Tembok Berlin, dunia tidak lagi dalam pusaran Bipolar. Amerika Serikat mengklaim telah memenangkan perang dingin(cold war), dan layak membuat dikte terhadap seluruh kenyataan negara-negara seantero dunia. Pagelaran kapal induk dan kecanggihan teknologi tempur di seluruh samudera/lautan utama tetap dilakukan. Niat untuk jadi satu-satunya negara super-power dalam corak unipolaritas sudah didepan mata. Asumsi ini ternyata keliru, keruntuhan Uni Soviet justru memicu gelombang regionalisme baru dimana-mana. Dari Amerika Latin, Asia Timur, Eropa, hingga Benua Afrika.
Meski sering dianggap setali tiga uang, tapi Uni Eropa(UE) menegaskan diri sebagai satu blok kawasan yang memiliki logika gerak terpisah dari Amerika Serikat. Hutang budi atas pembangunan infrastruktur yang didanai oleh Marshall Plan, untuk mengembalikan wajah kota-kota utama Eropa pasca perang dunia II, tidak jadi penghalang untuk mengembangkan kepentingan UE bersinggungan dengan AS. Tentu saja dalam sejumlah isu strategis, AS dan UE susah untuk dipisahkan. Aliansi militer mereka dalam NATO tetap menjadi operasi gabungan yang solid diberbagai negara. Karena itu dibutuhkan kecerdasan mengelola hubungan dengan Uni Eropa.
Di Asia, China terus digaungkan sebagai poros dunia baru dan penentang utama politik internasional full spectrum dominance yang dimainkan AS. Bersama Rusia dan tiga negara Asia Tengah(Kyrgiztan, Tajikistan, dan Kazakhstan) mereka membuat blok tandingan: Shanghai Cooperation Organization(SCO). Meski neraca perdagangannya selalu unggul atas AS, tapi efek krisis finansial terakhir ikut melumpuhkan sebagian gerak ekonomi nasional China. Pengangguran dan krisis pangan terus membayangi. Sebagian ekonom melihat ini karena menurunnya kemampuan china mesinergikan pola ekonomi pasar dan ekonomi protektif didalam negeri.
Rusia lain lagi. Tindakan Rusia yang menempatkan Kapal Induk mereka diperairan Kuba-Venezuela, penolakan atas sarana Rudal anti-balistik AS di Eropa, blokade atas rencana serangan militer AS ke IRAN, dan penghentian suplai Gas beberapa hari ke sejumlah negara Eropa, adalah bukti garis ekstrim ”neo-KGB” mewarnai sikap-sikap nasional dan Internasional Rusia. Dipimpin duet Presiden Medyedev dan Perdana Menteri Vladimir Putin serta bantuan ribuan agen siloviki, Rusia penuh percaya diri kembali ke panggung percaturan politik global. Mongolia, Iran, Pakistan, dan India mulai menjajaki hubungan strategis dengan kedua negara diatas(RUSIA – China).
Tepat di benua Amerika, di jazirah Amerika Latin, trio Hugo Chavez-Fidel Castro-Evo Morales bangkit dengan spirit Revolusi Bolivarian. Mengusung konsep integrasi kawasan mengimbangi penetrasi Neoliberalisme AS dan menawarkan satu bentuk “neo-Sosialisme” atau “Nasionalisme-Radikal” untuk mengangkat kembali masyarakat mereka dari kubangan krisis ekonomi. Referendum nasional yang baru-baru ini digelar di Bolivia dan dimenangkan oleh Evo Morales, makin mengukuhkan resistensi rakyat Amerika Latin atas supremasi AS diwilayah ini. Meski sebagian negara masih ragu, namun arus pasang anti neoliberalisme makin tak terhindarkan.
Tetangga Amerika Latin, Afrika juga tak mau ketinggalan. Melalui kerja panjang, akhirnya Uni Afrika resmi menghadirkan diri sebagai kekuatan regional baru. Kepemimpinan kawasan ini dipercayakan pada Moammar Khadafi, pemimpin Libya. Mereka punya segudang masalah. Mulai dari meredam konflik nasional dalam sejumlah negara, krisis pangan esktrim, penyebaran virus HIV-AIDS, aksi perompak Somalia, hingga perdagangan senjata yang memicu perang fisik dimana-mana. Semangat sosialisme atau setidaknya model ekonomi pasar sosial terus diuji-coba sebagai jalan menghindari kepunahan bangsa Afrika.
Di benua ASIA, ketegangan berlangsung ditiga titik utama. Zona satu ada di timur tengah/asia barat. Agresi Israel atas Palestina yang hingga kini belum berhenti telah memicu kecenderungan konflik regional. Iran sejauh ini masih sangat berhati-hati menghadapi situasi. Selain bantuan makanan dan kesehatan, gerilyawan Hezbollah juga membantu perlawanan bersenjata HAMAS. Sebagian negara-negara petro-dollar jazirah Arab(Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait) bersikap mendua: prihatin atas nasib rakyat Palestina, tapi membiarkan Israel meng-isolasi jalur Gaza.
Zona kedua, berada diseputar Asia Tengah dan Asia Selatan. Isu Afghanistan tetap jadi fokus utama. Ribuan tentara gabungan AS dan NATO(Pakta pertahanan atlantik utara) terus mengalir dalam perang yang diklaim melawan Terorisme dan Al Qaedah. Siapapun faham, Afghanistan hanyalah sasaran antara dari satu rencana besar AS untuk membuat pangkalan militer dan ekonomi mengimbangi China dan Rusia. Sikap Kyrgiztan baru-baru ini yang memutuskan menutup area militer AS dinegara mereka, telah memicu ketegangan kawasan. Sikap ini adalah buah ”pembalasan” yang dilakukan oleh Rusia atas operasi politik CIA dalam tubuh pemerintah Georgia.
Di Asia Selatan, India dan Pakistan sudah sampai ketahap persiapan perang. Pemerintah India secara terbuka mengungkapkan keterlibatan Intelijen Pakistan dalam penyerangan Hotel Mumbai yang menewaskan ratusan orang. Pihak Pakistan masih terus berkelit, dan mengatakan peristiwa itu sebagai aksi terorisme murni, sebagai hal logis atas ketidakbecusan India menangani isu Kashmir. Tidak jauh dari India, pertempuran sengit terus berlangsung antara gerilyawan Macan Tamil dengan angkatan bersenjata nasional Srilanka. Ratusan warga sipil sepanjang tiga bulan terakhir tewas, dan ribuan memilih untuk mengungsi.
Zona ketiga adalah Asia Timur dan Asia Tenggara. Asia Timur secara umum dan asia tenggara secara khusus sejak mengalami krisis dan stagnasi ekonomi dipenghujung tahun 1997, belum stabil sepenuhnya. Nilai mata uang baht, milik Thailand, tanggal 2 juli tahun 1997 runtuh. Dengan sangat cepat efek berantai ke negara-negara tetangga ikut kelimpungan. Malaysia, Singapura, Filiphina, dan Indonesia, mengalami depresiasi nilai mata uang. Bahkan menimbulkan kepanikan yang berujung pada pelarian modal keluar negeri dalam jumlah massif. Ditangan mantan perdana menteri Thaksin shinawatra, Thailand kembali menormalisir nafas ekonomi, meski masih terus didera ancaman krisis yang akut.
Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, masih sering dicap sebagai frontline dari AS menghadapi Korea Utara dan China. Konflik teritorial antara Jepang dengan China selalu tak terhindarkan. Sebagian kelompok politik liberal dan nasionalis Jepang telah sering memperingatkan agar pemerintahan mereka menjaga jarak dengan Amerika Serikat. Mereka tidak ingin Jepang hanya dijadikan kartu permainan yang hanya akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan nasionalnya. Situasi rumit dan saling jepit selalu menghantui Jepang, korsel, korut, taiwan, dan China. Beruntung, konflik politik tidak mempengaruhi relasi dagang dan sosial antar mereka. Ikatan religi konfusian agaknya cukup membantu sebagai perekat sosial.
Ada dua komunitas regional yang tumbuh berkembang: ASEAN dan KTT Asia Timur. ASEAN tidak mengalami kemajuan apapun, bahkan beberapa problem internal antar negara atau intern negara tidak terfasilitasi dengan baik. Misalnya, ketegangan antara Myanmar dengan Thailand. Lalu otoritarianisme politik Junta Militer Myanmar atas Aung San Su Kyi. ASEAN juga kerepotan memberi masukan kepada keduanya, terkait posisi China dan AS dalam konflik ini. Itu belum termasuk ketegangan di Thailand Selatan dan Filiphina Selatan. Dua wilayah ini terus bergolak akibat pola resolusi konflik dan pentahapan konsensus nasional yang tidak tepat.
KTT Asia Timur tidak akan pernah terakumulasi menjadi arena bersama yang demokratis dan adil, sebab selalu tidak lepas dari pertarungan kepentingan. China berniat membawanya kegaris SCO, sedang Australia dan Jepang tentu ingin merangkul KTT Asia Timur masuk dalam rumus strategis yang digariskan oleh UKUSA(United Kingdom, United State, Australia). Regionalisme diwilayah ini tidak sekuat arus yang berlangsung di Amerika Latin atau Afrika. Wilayah Asia Timur dan Tenggara, justru mirip dengan Timur Tengah. Saling kunci antar dua negara bertetangga, bisa berlangsung hingga ketingkat fatal. Keadaan ini malah makin melemahkan negara-negara sekawasan.





to be continued...... (Mundur Satu Langkah: Akhir Dari Pax Americana?)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar